REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Sistem pipa bahan bakar terbesar di Amerika Serikat (AS) mengalami serangan ransomware. Akibat serangan ini, sistem pipa bahan bakar terbesar itu terpaksa menutup seluruh jaringannya. Perusahaan Colonial Pipeline Company menyampaikan dalam sebuah pernyataan pada Ahad (9/5).
Colonial Pipeline Company mengirimkan bensin dan bahan bakar jet dari Pantai Teluk Texas ke Pantai Timur yang padat penduduknya melalui jalur pipa sepanjang 8.850 kilometer. OPerator ini melayani 50 juta konsumen.
Perusahaan ini telah menjadi korban serangan keamanan siber yang melibatkankan ransomware, serangan yang mengenkripsi sistem komputer dan berusaha mengekstraksi pembayaran dari operator.
“Sebagai tanggapan, kami secara proaktif membuat sistem tertentu offline untuk menahan ancaman, yang telah menghentikan sementara semua operasi jalur pipa dan mempengaruhi beberapa sistem TI kami,” katanya, dilansir dari Malay Mail, Ahad (9/5).
“Sebuah firma keamanan siber pihak ketiga terkemuka dilibatkan, dan mereka telah meluncurkan penyelidikan terhadap sifat dan ruang lingkup insiden ini, yang sedang berlangsung. Kami telah menghubungi penegak hukum dan agen federal lainnya,” lanjut pernyataan itu.
Colonial, yang berbasis di negara bagian selatan Georgia, adalah operator pipa terbesar di AS berdasarkan volume. Perusahaan ini mengangkut 2,5 juta barel bensin, solar, bahan bakar jet dan produk minyak sulingan lainnya per hari.
Serangan itu mendorong seruan dari pakar keamanan siber untuk meningkatkan meningkatkan pengawasan industri agar lebih siap menghadapi ancaman di masa depan.
Pemimpin strategi dunia maya di Pusat Keamanan Siber Forum Ekonomi Dunia Algirde Pipikaite mengatakan serangan ini tidak biasa untuk AS. Namun, serangan yang menargetkan teknologi operasional, sistem kontrol industri di jalur produksi kini lebih sering terjadi.
AS diguncang dalam beberapa bulan terakhir oleh berita tentang dua pelanggaran keamanan siber utama, yakni peretasan SolarWinds besar-besaran yang membahayakan ribuan jaringan komputer pemerintah dan sektor swasta AS. Rusia dituding ada di balik insiden ini.
Selain itu, ada juga serangan penetrasi server email Microsoft yang berpotensi merusak. Serangan ini diyakini telah mempengaruhi setidaknya 30 ribu organisasi AS termasuk pemerintah lokal dan dikaitkan dengan kampanye spionase dunia maya China yang agresif. Kedua pelanggaran tersebut tampaknya ditujukan untuk mencuri email dan data.