Senin 24 May 2021 04:10 WIB

Negara Impor

Negeri kaya tapi pemenuhan kebutuhan hidup bergantung pada impor.

Petani mengangkut karung berisi gabah hasil panen di Desa Kertawaluya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Selasa (18/5/2021). Indonesia masih punya ketergantungan pada impor untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Petani mengangkut karung berisi gabah hasil panen di Desa Kertawaluya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Selasa (18/5/2021). Indonesia masih punya ketergantungan pada impor untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Oleh : Agus Yulianto, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID,  Bukan lautan hanya kolam susu

Kail dan jalan cukup menghidupimu

Tiada badai tiada topan kau temui

Ikan dan udang menghampiri dirimu

Bukan lautan hanya kolam susu

Kail dan jala cukup menghidupimu

Tiada badai tiada topan kau temui

Ikan dan udang menghampiri dirimu......

Masih ingat dengan lirik lagu di atas? Ya, itu adalah lagu yang dinyanyikan grup band Koesplus. Lagu yang dibuat grup band legedaris pada era 1973-an itu, ternyata terinspirasi dari kekayaan alam Indonesia yang sangat berlimpah ruah.

Lagu itu berkisah tentang sumber daya laut dan juga daratan yang sangat kaya. Betapa tidak, dari laut itu, bangsa Indoneia bisa mendulang ikan, udang dan kekayaan laut bernilai ekonomi tinggi lainnya dengan mudah dan berlimpah.

Begitupun dengan 'tanah surga' yang dimiliki bangsa Indonesia. Berada tepat di garis khatulistiwa, hapir seluruh wilayah dari Sabang sampai Merauke, memiliki tingkat kesuburan tanah yang tiada duanya di dunia ini. Sampai-sampai Yon Koeswoyo pun menuliskan kata 'orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman'. Subhanallah...

Tak dipungkiri, dengan kesuburan tanah yang baik itu, tanaman apa pun yang kita usahakan, dipastikan akan menghasilkan produksi yang berlimpah. Padi, jagung, kedelai, ketela pohon, sayur-sayuran, buah-buahan serta tanaman lainnya, bisa tumbuh subur dan berlimpah.

Apalagi, kalau hal itu (budidaya, red) dibarengi dengan penerapan teknologi. Maka, sudah dipastikan, negara kita tak perlu lagi melakukan impor pangan seperti yang selama ini terjadi.

Namun sangat ironis, negara yang kaya raya loh jinawi ini, justru tidak memanfaatkan sumber daya alaminya dengan optimal. Buktinya, negara kita masih saja impor terhadap sejumlah kebutuhan pokok makanan.

Pertanyaannya, mengapa kita tak mampu mengelola sumber daya alam itu dengan optimal? Yang jelas, banyak faktor memengaruhi aksi impor oleh negara tersebut. Salah satunya adalah minimnya penerapan teknologi yang dimiliki sumber daya manusia (petani dan nelayan, red) secara umum, yang akhirnya berdampak pada produksi yang dihasilkan.

Ini memang mirip seperti yang terjadi dalam hukum ekonomi. Dimana digambarkan hubungan-hubungan di pasar, antara para calon pembeli dan penjual dari suatu barang. Antara penawaran dan permintaan yang digunakan untuk menentukan harga dan kuantitas yang terjual di pasar.

Nah, ketika faktor teknologi minim digunakan, maka hasil produksi pun menjadi lebih kecil ketimbang suatu usaha yang disertai dengan penerapan tekonologi. Banyak contoh negara telah menerapakan teknologi seperti Jepang, China, Vietnam, maupun negara-negara Amerika dan Eropa.

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Inilah yang kemudian disesalkan anggota Komisi IV DPR Johan Rosihan menyangkut impor pangan yang telah menjadi pilihan utama bagi ketersediaan pangan dan pemenuhan konsumsi pangan strategis dalam negeri.

Dia menyebutkan, adanya peningkatan impor pangan yang signifikan pada kuartal I 2021. Dia mencontohkan adanya impor gula yang terus meningkat dan sepertinya pemerintah tidak punya spirit untuk swasembada gula.

Data BPS menunjukkan, impor gula meningkat signifikan sebanyak 1,93 juta ton atau naik drastis 42,96 persen dibanding tahun lalu. Bahkan, selama Maret 2021, tercatat impor gula sebanyak 711.535 ton.

Saat ini, pemenuhan kebutuhan gula nasional selalu dilakukan dengan menerbitkan rekomendasi impor kepada pabrik gula yang memiliki izin usaha industri dan boleh dimasukkan ke pelabuhan mana saja tanpa perlu izin dari pemerintah. Kebijakan ini terus mempermudah impor dan dampaknya tidak ada semangat untuk melakukan swasembada gula nasional untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Padahal, Indonesia memiliki lahan perkebunan tebu seluas 416.82 hektare (ha) pada 2020 dengan produktivitas tebu sekitar 69,02 ton per ha. Sementara produksi tebunya sendiri pada tahun 2020 sekitar 28,78 juta ton.

Di samping itu, ada juga impor garam sebanyak 379.910 ton atau naik 19,6 persen dibanding dengan kuartal I 2020, Padahal, potensi lautan sebagai sumber pembuatan garam di Indonesia membentang dari Sabang sampai Meroke. Mengapa tidak dioptimalakan sumber daya yang berlimpah ini?

Demikian juga dengan impor kedelai yang meningkat hingga 22,43 persen dan terjadi peningkatan pula pada impor jagung, bawang putih, serta adaya peningkatan realisasi impor garam pada Maret 2021 ini terjadi peningkatan yang mencapai 275 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya.

Begitu juga dengan kebutuhan pokok utama masyarakat Indonesia, beras. Semula, di 2021 ini, akan ada impor beras satu juta ton. Namun, karena ada kritikan dan desakan sejumlah pihak, Presiden Jokowi akhirnya menegaskan 'tidak ada impor' hingga akhir tahun ini. Kecuali, bila ada kejadian darurat yang memaksa pemerintah harus melakukan impor dan demi menjaga stok cadangan beras nasional.

Ini artinya, sebenarnya kondisi perberasan di Indonesia pun 'masih rentan'. Itulah sebabnya, Presiden Jokowi membangun kawasan food estate di sejumlah wilayah di Tanah Air. Harapannya, kebutuhan bahan pokok makanan masyarakat Indonesia bisa terpenuhi dari produksi dalam negeri. Mudah-mudahan bisa terwujud.

Hanya saja harus diakui, sejauh ini, belum ada penguatan industri pengolahan pangan di dalam negeri serta peningkatan produksi bahan baku agar tidak selalu bergantung dengan impor. Karena itu, dalam hal ketersediaan bahan pangan strategis, pemerintah harus memiliki paradigma ketersediaan pangan berasal dari produksi dalam negeri dalam bentuk swasembada pangan. Dan bukan semata-mata dipenuhi dari impor yang berdampak ketergantungan kepada negara lain dan merugikan petani.

Memanfaatkan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) yang jatuh pada 20 Mei lalu, sudah seharusnya bangsa Indonesia, kembali memperkuat momen persatuan dan kesatuan, termasuk di dalamnya memperkutan ketahanan pangan. Indonesia adalah bangsa yang besar dengan kekayaan alam melimpah tiada tara dan harus dikelola dengan sebaik-baiknya, seadil-adilnya untuk kesejehteraan rakyat dan bukan untuk kekayaan segelintir orang yang memanfaatkan kondisi 'kekurangan' Indonesia, dengan melakukan impor.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement