REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Perlu gerakan masyarakat lewat penyampaian berbagai masukan terkait pelaksanaan pelayanan pengobatan kanker. Hal demikian untuk menghasilkan solusi yang mampu meningkatkan kualitas layanan pengobatan kanker di Tanah Air.
"Yang dipermasalahkan para penyintas kanker adalah tata kelola kebijakan terkait akses pada pengobatan kanker. Kita berharap dengan tata kelola pelayanan kesehatan kanker yang baik dapat menekan jumlah penderita kanker yang ada saat ini," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Refleksi dan Masa Depan JKN: Meningkatkan Akses Terhadap Pengobatan Kanker Yang Berkualitas, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (23/6).
Masukan masyarakat untuk mengangkat fakta-fakta pelayanan kanker di lapangan, menurut Lestari, diperlukan karena pada kenyataannya suara para penyintas kanker terkait pelayanan kesehatan yang dialami, belum banyak didengar.
Diakui Rerie, sapaan akrab Lestari, data kasus kanker terus mengalami kenaikan yang berpotensi meningkatkan angka kematian. Padahal, pada konstitusi kita, UUD 1945, menjamin setiap warga negara mendapatkan perlindungan dan rasa aman, termasuk perlindungan dan rasa aman dalam pelayanan pengobatan kanker.
Karena itu, kata Rerie yang juga anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, berbagai upaya untuk meningkatkan pelayanan dalam pengobatan kanker merupakan bagian dari kewajiban para pemangku kepentingan dalam menjalankan amanah konstitusi.
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, berpendapat dalam konsep universal health coverage bertujuan agar setiap warga negara memiliki akses pelayanan yang berkualitas secara efektif dan efesien.
BPJS Kesehatan, menurut Ali, berupaya melaksanakan konsep tersebut, di tengah tren biaya pelayanan kesehatan yang terus naik, termasuk untuk pengobatan kanker.
Diakui Ali, hingga saat ini pihaknya terus mengupayakan pembiayaan yang efektif, efesien, cukup dan berkelanjutan, terhadap pelayanan kesehatan. Saat ini pembiayaan BPJS Kesehatan 20 persennya diserap untuk pengobatan penyakit katastropik. Pada kelompok katastropik ini, penyerapan pembiayaan terbesar adalah untuk pengobatan penyakit jantung dan kanker.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, Arianti Anaya, mengungkapkan ketersediaan obat kanker di Indonesia sangat tergantung pada supply chain management, yang melibatkan sejumlah pihak.
Salah satu tahapan yang harus dilalui dalam proses ketersediaan obat, menurut Arianti, melalui implementasi formularium nasional (Fornas) sebuah acuan dari hasil kajian para ahli dan sejumlah pemangku kepentingan
Fornas, jelas Arianti, digunakan tenaga medis sebagai acuan dalam menetapkan pilihan obat yang tepat, paling manjur, dan aman dengan harga terjangkau untuk mewujudkan patient safety dalam pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Dengan penerapan Fornas sebagai kendali mutu dan kendali biaya, menurut Arianti, pelayanan kesehatan diharapkan lebih bermutu dengan belanja obat yang terkendali.
Direktur Utama RS Kanker Dharmais, Soeko W Nindito, mengungkapkan sebagai rumah sakit rujukan pengobatan kanker nasional pihaknya melihat banyak hal yang harus segera diatasi agar pelayanan kesehatan terhadap penderita kanker menjadi lebih baik.
Menurut Soeko, permasalahan yang dihadapi dalam pengobatan kanker bagaikan mengepel lantai di hari hujan. Bila kebocoran tidak segera ditambal, berbagai masalah tidak akan pernah selesai.
Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia, Aru Wisaksono Sudoyo, berpendapat mekanisme JKN dengan BPJS Kesehatan merupakan sistem yang fantastis. Karena, jelasnya, masih banyak negara yang belum mampu menerapkan sistem pembiayaan kesehatan secara nasional di negara mereka.
Aru menyarankan agar pembiayaan pelayanan kesehatan bisa diterapkan secara efektif dalam pengobatan kanker, harus diterapkan kebijakan therapy first line regimen secara menyeluruh, BPJS co-sharing dengan asuransi swasta dalam pembiayaan, deteksi dini kanker dibiayai dan menurunkan pajak atas obat-obatan.