Oleh : Ichsan Emrald Alamsyah, jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Beberapa hari lalu, pengusaha nasional Jusuf Hamka Babah Alun membuat heboh karena dalam sebuah wawancara media online, menyebut Bank Syariah kejam.
Babah Alun sudah mengklarifikasi bahwa itu hanya jawaban spontan. Menurut pria yang berencana membangun 99 masjid ini, apa yang ia alami lebih kepada hubungan nasabah dengan perbankan, bukan sistem keuangan syariahnya.
Di sini Babah berposisi sebagai nasabah atau konsumen yang berkeluh kesah. Hanya saja dampaknya, pernyataannya tentang bank syariah ataupun lembaga keuangan syariah pun mengemuka walaupun hanya di media sosial.
Penulis jadi ingat hari-hari ketika mengampu di halaman syariah, lebih tepatnya menjadi jurnalis ekonomi syariah. Penulis beberapa kali bertemu dengan para tokoh yang bisa disebut pionir keuangan syariah Indonesia. Mulai dari bank syariah, koperasi syariah hingga wisata halal.
Pertemuan dengan para tokoh ini menimbulkan kesan mendalam, khususnya bagaimana mereka harus jatuh bangun membangun ekonomi syariah di Indonesia. Salah satu yang pernah penulis catat adalah ketika bertemu mantan Dirut dan salah satu pendiri Bank Muamalat Zainulbahar Noor sekira tahun 2012.
Tokoh ekonomi syariah ini bercerita soal bagaimana embrio bank syariah sebenarnya sudah diupayakan untuk dibangun sejak 1980an. Hanya saja hal itu baru benar-benar terwujud di tahun 1991 dengan kelahiran Bank Muamalat. Awal-awal tahun 1990-an memang menjadi babak baru kebangkitan Islam di Indonesia, terutama usai cairnya hubungan Presiden Kedua RI Soeharto dengan Islam.
Istilah bank syariah yang kemudian melebar menjadi keuangan syariah bukannya keuangan Islam juga punya cerita tersendiri. Padahal di berbagai negara bahkan di Inggris misalnya, mereka menggunakan istilah Islamic Finance.
Berkaca dari kasus 'Bank Syariah Kejam', masyarakat khususnya pengguna bank syariah harus paham satu hal. Paham bahwa memang karena ukurannya yang sangat kecil, maka 'pricing' yang harus didapat nasabah jadi lebih tinggi dibandingkan bank konvensional.
Sementara masyarakat ingin karena bank syariah membawa konsep syariat Islam harus berjalan tanpa bagi hasil. Keluhan ini sering kali penulis dapat ketika bertemu masyarakat awam, khususnya mereka yang tidak mengerti alasan di baliknya.
Mengutip dari Republika.co.id, Pemerhati Bisnis dan Keuangan Syariah, Ronald Rulindo menyampaikan setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan pricing bank syariah bisa lebih mahal.
Yang pertama, ini sudah banyak disampaikan yaitu skala ekonominya. Ia mengajak membandingkan bank syariah dengan bank lain yang kurang lebih total asetnya sama, maka pricing kurang lebih tidak akan jauh berbeda. Beda halnya saat membandingkan aset bank syariah yang asetnya Rp 20 sampai Rp 30 trilliun dengan induknya yang Rp 200 trilliun bahkan Rp 1.000 trilliun.
"Kalau harus sama ya tidak masuk akal," katanya. Maka dari itu, Bank Syariah Indonesia didirikan supaya bisa mencapai skala ekonomi yang dibutuhkan, agar pricing lebih kompetitif. Tapi itu baru BSI, sementara masih banyak bank syariah lain yang skalanya lebih kecil.
Alasan kedua, bisa jadi pengaruh akad, terutama akad murabahah atau jual beli yang memiliki harga tetap. Mau terjadi inflasi seberapa pun harga tidak akan berubah. Beda dengan bank konvensional atau produk syariah yang bisa menawarkan flat rate nilainya lebih fleksibel.
Hal ini karena dalam keuangan, semakin panjang durasi investasi semakin tinggi risiko. Maka ekspektasi return pembiayaan jangka panjang juga akan tinggi. Karena itu, akad murabahah menjadi relatif lebih mahal.
Sementara yang ketiga, karena struktur produk dan ketentuan syariah sendiri. Ia menjelaskan bagaimana laba bisa halal dan riba menjadi haram. Ini karena, untuk dapat laba, harus ada iwadh-nya, alias countervalue, atau justifikasi kenapa kita berhak dapat laba tersebut.
Beda dengan riba yang duduk ongkang-ongkang kaki tapi dapat uang dengan cara meminjamkan uang tersebut ke orang lain. Tanpa peduli dari penggunaan dana tersebut.
"Iya kalau mereka berusaha dan untung, Kalau rugi? Apalagi misalnya minjamnya untuk bayar rumah sakit malah menambah kesusahan kan? Makanya riba itu haram," katanya.
Iwadh sebagai syarat dari laba itu sendiri ada beberapa macam. Bisa jadi ada usaha yang dilakukan, kewajiban tambahan yang harus dijalankan, atau ada risiko yang harus diterima. Dari tiga ini, jelas ada biaya tambahan untuk mendapatkan laba tersebut.
"Berbeda dengan riba, kalau dari sudut pandang efisien ya pasti lebih efisien, tidak melakukan apa-apa tapi juga bisa untung," katanya.
Maka dari itu, sebenarnya wajar saja jika bank syariah mahal karena ada hal-hal yang harus dilakukan untuk mendapatkan keuntungan tersebut. Ini juga dapat menjadi bahan introspeksi bagi bank syariah apakah sudah melakukan iwadh tadi.
Walaupun bank syariah mahal, bukan berarti tidak ada yang mau menggunakan. Banyak orang yang mau membayar lebih, bahkan berlomba lomba untuk membayar sesuatu lebih mahal dengan untuk fungsi yang sama.
Dari sini saja sudah terlihat, menurut penulis, bank syariah memiliki modal lebih yaitu nonriba. Istilahnya, orang akan mengejar makanan halal meski harganya atau pricing Rp 100 ribu dibandingkan yang haram walau hanya Rp 20 ribu.
Namun, bank syariah harus inovatif dan mencari berbagai cara untuk mengganti biaya mahal mereka dengan manfaat tambahan yang lebih. Dan ini bisa jadi tidak harus mengeluarkan biaya lagi. Bahkan dengan menjadi lebih ramah pun mungkin sudah cukup, atau, totalitas untuk membantu nasabah mencari solusi keuangan atau solusi bisnisnya.
Terlepas dari itu, mungkin kasus ini bisa menjadi sebuah teguran bagi bank syariah untuk lebih maju, berjalan pelan tapi pasti karena bank syariah, merupakan industri yang sangat patuh pada regulasi atau highly regulated. Kemudian juga menerima setiap kritikan dan tidak menjadi defensi.
Sementara di saat yang sama, otoritas tertinggi yaitu Otoritas Jasa Keuangan juga harus mengambil sikap tak hanya memanggil namun menjelaskan ke publik masalah sebenarnya yang terjadi. Sehingga pernyataan bahwa bank syariah kejam dan memeras jadi terjelaskan secara terang benderang.
Terakhir penulis juga meminta masyarakat untuk tidak lagi menganggap bank syariah sebagai lembaga sosial. Bank syariah tentu saja adalah lembaga keuangan yang fokusnya adalah mencari profit dengan cara yang syar'i atau prinsip syariat Islam. Sehingga anda tidak bisa meminta bank syariah menurunkan angka bagi hasil seenaknya tanpa memperlihatkan bukti bahwa anda layak mendapatkan keringanan sesuai prinsip syariah.