REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Istilah sastra siber kerap menjadi tema diskusi publik di Indonesia. Di Indonesia pengertian sastra siber yang diketahui terdiri dari beberapa macam.
Yakni, sastra siber adalah sastra yang tersebar di internet, bersifat alternatif, bersifat sementara dan disebut media digital. Namun, apakah poin-poin itu benar?
Alumni Magister Sastra Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gajah Mada (UGM), M Lutfi Dwi Kurniawan, mengatakan sibernetika pertama kali berasal dari Nobert Wiener dalam bukunya berjudul Cybernetics or Control and Communication in the Animal and the Machine (1948).
Dalam hal ini, kata kuncinya adalah kontrol, komunikasi, dan umpan balik. Wiener terinspirasi dari pengemudi kapal yang bebas memilih jalan. Mekanisme tersebut merupakan gagasan utama sibernetika yang berkaitan dengan koneksi antara psikologi dan fisiologi.
Pada 1987, terbit fiksi hipertes yang berjudul Afternoon: A Story oleh Michael Joyco dan berdirinya stroyspace oleh Eastgate dan Macintosh. Lutfi menjelaskan karya tersebut yang terbit dari disket mengajak kontribusi pembaca.
Kemudian pada 1995, Joyce menjelaskan konsep fiksi hiperteks dalam Of Two Minds Hypertext Pedagogy Poetics, yaitu narasinya adalah non-linear karena memberikan pembaca sebagai pelaku aktif.
Konsep ini diperkuat Espen Aarseth dalam Cybertext: Perpsectives on Erdogic Literature (1997), ini bisa interaktif novel, gim, atau vitual reality sehingga bisa meluas pembahasan sastra ke ranah-ranah lain, termasuk non-sastra.
Berdasarkan kelahirannya, sastra siber dalam diskursus sastra secara global bukan diakibatkan ketidakmampuan pengarang dalam menembus sastra cetak.
Kehadiran sastra siber secara global diawali kehadiran fiksi hiperteks yang didukung kemampuan sibernetika dari perangkat digital dan komputer.
“Karya sastra yang beredar di internet bukan jaminan sastra sibernetika tetapi dapat masuk dan dikategorikan sebagai sastra digital. Sastra sibernetikal juga dimungkinkan menjadi sastra cetak,” kata Luthfi dalam diskusi Fenomena dan Perkembangan Sastra Siber di Indonesia, Senin (4/10).
Selain itu, kehadiran sastra siber bukan sebagai sastra alternatif dari ketidakmampuan penulis menembus sastra cetak. Namun, itu merupakan suatu upaya eksperimen dalam membentuk sistem komunikasi arus balik dan sebagai tanggapan pembaruan sastra.
Luthfi menyebut tidak semua karya sastra digital bernilai sibernetika, begitu pula sebaliknya sehingga harus melacak kembali unsur sibernetika yang dibahas.
“Supaya tidak kebalik, kita tidak asal mengganti, oh itu sastra siber, kita bisa langsung menuju spesifiknya sehingga pembahasannya bisa produktif dan tidak abstrak,” ujar dia.
Selain itu, diperlukan untuk melihat media sebagai kesatuan struktur dalam sastra. Hal ini jarang disadari dalam sastra cetak. Ketika sastra sibernetika dalam unsur cetak atau digital, tidak hanya dilibatkan tekstologinya saja tetapi media teksnya.
Lebih lanjut, Luthfi mengatakan sebaiknya melepaskan dari belenggu kanonisasi sastra cetak. “Sastra siber di bawah sastra cetak, tidak mampu menembus sastra cetak. Padahal banyak hal, aspek dari sastra digital ketika dinilai unsur-unsur naratifnya dan puitiknya merupakan sastra,” tambahnya.