Sabtu 30 Oct 2021 20:57 WIB

Anak Muda, Islamisme, dan Moderasi Beragama

Islamisme sering disalahpahami sebagai kebangkitan Islam

Santri mengaji dalam peringatan maulid nabi (ilustrasi)
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Santri mengaji dalam peringatan maulid nabi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abu Rokhmad, Staf Ahli Menteri Agama dan Alumni IMM Komisariat FAI Unmuh Surabaya

 

JAKARTA -- Dalam suasana peringatan Sumpah Pemuda ke-93 saat ini, saya ingin berbagi renungan tentang anak muda, semangat beragama dan jalan politiknya. Anak-anak muda, terutama yang tumbuh di perkotaan, berasal dari keluarga menengah atau priyayi dan umumnya mengenyam pendidikan umum, belakangan mengalami semangat beragama yang tinggi.

Semangat ini tumbuh bukan tiba-tiba, melainkan telah dipupuk sejak SMP, SMA hingga perguruan tinggi. Mereka aktif dalam kajian keislaman yang diselenggarakan unit kerohanian.  

Mereka belajar Islam dari mentor dan sumber-sumber keagamaan yang khas. Mereka dikenalkan tentang konsep jahiliyah modern, khilafah dan thaghut. Mereka dipompa semangatnya untuk menjadi muslim yang taat, baik dalam shalat maupun dalam keluarga dan kenegaraan. Mereka juga dididik untuk berdakwah dan berpolitik sekaligus.

Mereka sangat percaya diri menggunakan simbol-simbol Islam. Jalan pikirannya sangat politis meski masih usia belia. Analisanya tentang kemunduran umat Islam selalu dikaitkan dengan kekalahan politik umat Islam dalam kepemimpinan nasional.

Sepanjang umat Islam tidak menguasai parlemen dan pemerintahan, kepentingan umat Islam pasti tidak diperhatikan. Begitu kata mereka. Celakanya, yang dimaksud umat Islam bukanlah umumnya umat Islam, melainkan kelompok mereka sendiri.  

Perjuangan politik mereka ingin menegakkan negara Islam. Entah terang-terangan atau tersembunyi. Jika ada momentum politik (pilkada atau pemilu), mereka aktif dukung-mendukung calon yang disukai.

Berbagai cara digunakan untuk memenangkan calon yang sesuai dengan visinya, termasuk dengan politisasi agama. Jika pemenangnya bukan calon yang didukung, mereka akan menyerang dan memusuhi pemerintahan yang sah.

Mereka menempatkan diri sebagai oposisi, bukan hanya politik tetapi juga teologis bagi pemerintah. Pemerintah adalah minhum (dari golongan mereka), bukan minna (dari golongan kita).

Jika mereka berdakwah, dakwahnya cenderung keras dan intoleran. Gampang membid’ahkan orang lain. Mereka bangga sekali melakukan nahi munkar dan menganggap Muslim lain lembek karena mereka hanya melakukan amar makruf dan tidak mengerjakan nahi munkar. Anak-anak muda ini memilih jalan beragama yang cenderung politis (Islamisme).

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement