REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengindikasikan banyaknya potensi persaingan tidak sehat dalam bisnis tes Polymerase Chain Reaction (PCR).
Menurut Wakil Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Dr. Guntur Syahputra Saragih, aturan penetapan harga PCR oleh Pemerintah memiliki beberapa celah yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku usaha. Beberapa potensi persaingan tidak sehat bisa dilakukan pelaku bisnis melalui paket bundling tes dengan konsultasi dokter, hingga kecepatan hasil tes.
"Itu memaksa supaya konsumen menggunakan produk yang dia tidak butuhkan. Misalnya dengan bundling konsultasi dokter, atau durasi hasil (hasil tes lebih cepat)," ujar Guntur dalam webinar UII Yogyakarta yang berjudul 'Kontroversi Tes PCR- Bisnis atau Krisis', Kamis (18/11).
Selain kedua hal tersebut, kualitas regen juga dapat dijadikan patokan pelaku usaha untuk menggunakan harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan Pemerintah untuk tes PCR. Misalnya, Pemerintah menetapkan HET sebesar Rp 900 ribu, pelaku usaha bisa menjadikan hal tersebut rujukan agar harganya bisa mendekati HET tersebut. Potensi bocornya penentuan HET tes PCR juga dapat menguntungkan pelaku bisnis yang memperoleh informasi terlebih dahulu.
Padahal, Pemerintah menetapkan HET harapannya agar masyarakat mendapatkan harga yang terjangkau walaupun harganya fluktuatif karena suplai komponennya fluktuatif sejak awal pandemi.
Akan tetapi, dalam proses penegakan hukum oleh KPPU, lanjut Guntur, pihaknya harus dapat menemukan kesengajaan yang dilakukan oleh pelaku bisnis, bukan melewati sebuah perjanjian."Ini tantangan ketika memang kita memutuskan price ceiling (HET). Sisi surplus inilah yang KPPU jaga agar tidak merugikan masyarakat," kata Guntur.