Jumat 19 Nov 2021 05:54 WIB

KPPU: Indikasi Persaingan tidak Sehat dalam Bisnis Tes PCR

Persaingan tidak sehat bisa terjadi lewat bundling tes dokter hingga kecepatan hasil

Rep: idealisa masyrafina/ Red: Hiru Muhammad
Sejumlah pelajar menjalani tes usap PCR di SMPN 1 Cimahi, Jalan Raden Embang Artawidjadja, Kota Cimahi, Kamis (18/11). Pemerintah Kota Cimahi melalui Dinas Kesehatan Kota Cimahi dan Dinas Pendidikan Kota Cimahi melakukan tes usap PCR secara acak bagi pelajar dan guru di sejumlah sekolah. Hal tersebut dilakukan untuk memastikan kesehatan dan mencegah terjadinya klaster penyebaran Covid-19 di sekolah selama Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT). Foto: Republika/Abdan Syakura
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Sejumlah pelajar menjalani tes usap PCR di SMPN 1 Cimahi, Jalan Raden Embang Artawidjadja, Kota Cimahi, Kamis (18/11). Pemerintah Kota Cimahi melalui Dinas Kesehatan Kota Cimahi dan Dinas Pendidikan Kota Cimahi melakukan tes usap PCR secara acak bagi pelajar dan guru di sejumlah sekolah. Hal tersebut dilakukan untuk memastikan kesehatan dan mencegah terjadinya klaster penyebaran Covid-19 di sekolah selama Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT). Foto: Republika/Abdan Syakura

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengindikasikan banyaknya potensi persaingan tidak sehat dalam bisnis tes Polymerase Chain Reaction (PCR).

Menurut Wakil Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Dr. Guntur Syahputra Saragih, aturan penetapan harga PCR oleh Pemerintah memiliki beberapa celah yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku usaha. Beberapa potensi persaingan tidak sehat bisa dilakukan pelaku bisnis melalui paket bundling tes dengan konsultasi dokter, hingga kecepatan hasil tes.

Baca Juga

"Itu memaksa supaya konsumen menggunakan produk yang dia tidak butuhkan. Misalnya dengan bundling konsultasi dokter, atau durasi hasil (hasil tes lebih cepat)," ujar Guntur dalam webinar UII Yogyakarta yang berjudul 'Kontroversi Tes PCR- Bisnis atau Krisis', Kamis (18/11).

Selain kedua hal tersebut, kualitas regen juga dapat dijadikan patokan pelaku usaha untuk menggunakan harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan Pemerintah untuk tes PCR. Misalnya, Pemerintah menetapkan HET sebesar Rp 900 ribu, pelaku usaha bisa menjadikan hal tersebut rujukan agar harganya bisa mendekati HET tersebut. Potensi bocornya penentuan HET tes PCR juga dapat menguntungkan pelaku bisnis yang memperoleh informasi terlebih dahulu.

Padahal, Pemerintah menetapkan HET harapannya agar masyarakat mendapatkan harga yang terjangkau walaupun harganya fluktuatif karena suplai komponennya fluktuatif sejak awal pandemi.

Akan tetapi, dalam proses penegakan hukum oleh KPPU, lanjut Guntur, pihaknya harus dapat menemukan kesengajaan yang dilakukan oleh pelaku bisnis, bukan melewati sebuah perjanjian."Ini tantangan ketika memang kita memutuskan price ceiling (HET). Sisi surplus inilah yang KPPU jaga agar tidak merugikan masyarakat," kata Guntur. 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement