REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli epidemiologi Universitas Andalas Defriman Djafri mengatakan, varian IHU masih dalam pantauan, dan membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengungkap karakteristik varian tersebut. Hingga saat ini, belum ada bukti ilmiah yang memberikan penjelasan lengkap terkait dampak varian IHU terhadap penularan, imunitas dan keparahan penyakit COVID-19.
"Kekhawatiran memang besarnya jumlah mutasi, dan dapat merubah sifat biologis virus dan memungkinkan lebih menular dari varian yang ada selama ini," kata Defriman, Jumat (7/1/2022).
Varian IHU memiliki cukup banyak mutasi yakni ada 46 mutasi. Menurut Defriman, dengan besarnya mutasi, memungkinkan adanya resistensi terhadap vaksinasi atau kekebalan yang sudah ada selama ini.
Varian IHU dikategorikan sebagai varian dalam pemantauan (variant under monitoring) karena dinilai akan menimbulkan risiko tetapi bukti secara epidemiologis belum begitu jelas, sehingga masih memerlukan pemantauan dan penilaian untuk menunggu bukti baru. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat varian B 1640 atau IHU pertama kali terdeteksi di Republik Kongo pada September 2021.
Defriman mengatakan, apapun varian dari virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19, perilaku pemajanan atau penularan tetap sama yakni melalui droplet yang bisa masuk ke hidung atau ke mata. Karena model pemajanannya tidak berbeda dengan varian lain, maka protokol kesehatan tetap menjadi andalan utama untuk dimaksimalkan dalam mencegah penularan COVID-19.
Vaksinasi COVID-19 juga perlu terus ditingkatkan untuk memperkuat antibodi tubuh dalam melawan serangan virus corona penyebab COVID-19. Meskipun vaksinasi tidak menjamin orang terhindar dari infeksi ulangan, namun dapat membuat gejala klinis COVID-19 yang dialami orang yang sudah divaksinasi menjadi ringan.