REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sumintak, Dosen Sosiologi UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
Di tengah hiruk pikuk penolakan terhadap adanya wacana penundaan dan perpanjangan masa jabatan presiden 3 periode, pada 12 April 2022, jadi kado manis buat seluruh perempuan di Indonesia. Betapa tidak bahwa hampir semua kalangan perempuan di Indonesia menyuarakan agar segera dibuatkan payung hukum yang dapat melindungi seluruh perempuan di Indonesia dari kejahatan atau kekerasan seksual terhadap perempuan. Sebagaimana fenomena ini menjadi salah satu tuntutan yang tereselip dalam setiap perjalan aksi (demonstrasi) yang dilakukan oleh para aktivis.
Seperti yang kita ketahui bahwa kasus kekerasan seksual terhadap perempuan begitu masif terjadi di Indonesia. Misalnya, kasus kekerasan seksual yang terjadi di ruang lingkup pendidikan yang masih melekat dalam ingatan semua orang. Sebut saja misalnya, kasus kekerasan seksual yang menimpa santriwati disalah satu pondok pesantren yang pelakunya adalah seorang pendidik (Herry Wirawan) dengan label ustadz-nya telah merenggut masa depan 13 santriwatinya, kini tersangka telah divonis mati oleh Majelis Tinggi (PT) Bandung.
Kemudian khalayak umum juga dihebohkan dengan kasus kekerasan seksual yang menimpa seorang mahasiswi di salah satu perguruan tinggi yang ada di Riau. Keberanian penyintas yang melakukan speak up dihadapan publik lewat media sosial menggetarkan dinding kokoh perguruan tinggi bak ditimpa gemuruh yang datangnya dari langit.
Kampus yang nota bane adalah sebagai lembaga pendidikan tinggi tercoreng oleh oknum Dosen yang seharusnya menjunjung tinggi moralitas justru malah melakukan perbuatan yang mengarah pada demoralisasi dikalangan akademisi. Penyalahgunaan Relasi-Kuasa yang dimiliki seorang Dosen ditengarai sebagai salah satu faktor penyebab kekerasan seksual terjadi dilingkungan kampus.
Kekerasan terhadap perempuan erat kaitannya dengan ideologi kultural atau tata nilai yang melekat dalam struktur masyarakat dan pola relasi atau hubungan antara laki-laki dan perempuan. Dalam perspektif sosiologis kekerasan yang dialami oleh perempuan terjadi karena adanya proses interaksi yang kemudian menghasilkan ketidak seimbangan posisi tawar dalam status peran dan kedudukan.