Hukum Onani
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh
Saya seorang simpatisan Muhammadiyah, sudah lama dan sering membaca halaman-halaman yang ada dalam majalah Suara Muhammadiyah serta sudah memiliki buku Tanya Jawab Agama yang berjumlah lima jilid dan sudah barang tentu diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah pula. Tapi sejauh ini pula saya belum menemukan hal-hal yang menerangkan tentang (a) hukumnya onani yang hanya menerangkan sebatas batalnya puasa saja. Sedangkan hukum onani itu sendiri belum ada keterangannya.
Dan hal lain yang belum pernah saya temukan baik dalam buku Tanya Jawab Agama maupun dalam Majalah Suara Muhammadiyah yaitu sesuatu yang berhubungan dengan hal membelanjakan harta, baik tentang segi hukumnya dan berlaku bagi warga muslim. Tentunya yaitu tentang pembahasan bagaimana hukumnya seorang suami atau seorang laki-laki yang berstatus sudah berkeluarga masih juga mau melayani (atau memberi) pertolongan (pada) seorang gadis non muhrim tanpa sepengetahuan istrinya. Apa hukumnya berdosa dengan dasar perselingkuhan tersebut. Misalnya karena laki-laki itupun mungkin juga menyenangi gadis tersebut. Sedang gadis tersebut sangat memerlukan sekali pertolongan tersebut yang berupa uang guna keperluan sekolahnya yang dia memang masih sekolah.
Yang jadi pertanyaan saya (b) bagaimana sikap saya kepadanya yang harus saya lakukan agar diri saya tidak mendapat dosa dari perbuatan saya sendiri. Dengan catatan saya tak pernah mengganggunya, tapi saya menyukainya … dan anehnya diapun menganggap saya sebagai teman orang tuanya. Mohon penjelasannya dan dapat dimuat di majalah Suara Muhammadiyah yang sudah barang tentu saya tunggu. Terima kasih atas perhatian pengasuh dari PP Muhammadiyah dan mohon maaf saya tidak dapat mencantumkan nama saya yang sebenarnya.
Wa billahit-taufik wal-hidayah.
Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh
Pertanyaan Dari: B, Cirebon (Disidangkan pada hari Jum’at, 14 Shafar 1431 H / 29 Januari 2010)
Jawaban:
Wa ‘alaikumus-salam wa rahmatullahi wa barakatuh
Berikut jawaban atas pertanyaan saudara di atas:
Onani (istimnâ’) atau masturbasi bagi perempuan adalah (perbuatan) mengeluarkan mani bukan melalui jalan persetubuhan, baik dengan telapak tangan atau dengan cara yang lainnya (Mu’jam Lughah al-Fuqahâ, vol. I: 65). Namun penjelasan dalam kitab-kitab fikih, hemat kami cenderung pada kesimpulan bahwa onani adalah mengeluarkan mani atau sperma dengan disengaja dan dilakukan dengan menggunakan tangan, baik tangannya sendiri, tangan istri atau tangan budak perempuannya ketika syahwat sedang muncul dan atau memuncak.
Mengenai perbuatan ini, para fuqaha yang sejak dulu sudah membahasnya dalam kitab-kitab fikih karangan mereka terbagi menjadi beberapa kelompok. Kelompok pertama yaitu kalangan ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Zaidiyah yang mengharamkannya. Argumentasi mereka adalah bahwa Allah memerintahkan untuk menjaga kemaluan dalam semua perilaku, kecuali untuk istri dan budak yang dihalalkan (milku al-yamîn).
Jika seseorang melampaui dua hal ini dan dia beronani, maka dia dianggap seperti kaum Ad yang melampaui batas dari apa yang dihalalkan Allah dan melakukan sesuatu yang diharamkan. Allah berfirman:
Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” [QS. al-Mu’minun (23): 5-7]
Kelompok kedua adalah kalangan ulama Hanafiyah yang berpendapat bahwa onani haram dalam kondisi tertentu dan wajib dalam kondisi yang lain. Mereka mengatakan: “Onani menjadi wajib, jika dia takut melakukan zina kalau tidak beronani, sesuai dengan kaidah fikih:
إِرْتِكَابُ أَََخَفِّ الضَّرَرَيْنِ.
Artinya: “Mengambil perbuatan teringan dari dua mudarat (bahaya yang ada)”.
Sedangkan mereka yang mengatakan haram, jika dilakukan untuk memancing nafsu. Mereka mengatakan: “Tidak apa-apa dengan onani, jika nafsu sudah menguasai dirinya sementara dia belum memiliki istri atau budak wanita dengan tujuan mencari kestabilan”.
Kelompok ketiga adalah kalangan ulama mazhab Hambali yang mengatakan bahwa onani hukumnya haram, kecuali jika dia takut terjebak dalam perzinaan atau takut atas kesehatannya, sementara dia belum mempunyai istri atau budak wanita. Dia juga tidak mampu untuk menikah. Maka dalam kondisi seperti ini dia dibolehkan beronani.
Selain ketiga kelompok di atas, terdapat pendapat independen dari beberapa sahabat, tabi’in dan ulama lainnya di antaranya: Abdulah bin Umar ra., Abdulah bin Abbas ra., Atha’, al-Hasan, dan Ibnu Hazm. Ibnu Abbas ra. dan al-Hassan membolehkannya. Sedang Abdulah bin Umar ra. dan Atha’ memakruhkannya. Ibnu Hazm berpendapat bahwa onani hukumnya makruh dan tidak berdosa, sebab seseorang menyentuh kemaluan sendiri dengan tangan kirinya hukumnya mubah sesuai dengan ijmak (kesepakatan para ulama). Jika memang mubah, maka hukum tidak akan berubah dari sifat mubah, kecuali sengaja mengeluarkan mani. (Fiqh as-Sunnah, vol. 3, h.424-426). Oleh sebab itu hukum asalnya tetap tidak haram, sebagaimana firman Allah:
Artinya: “… sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu …” [QS. al-An’âm (6): 119]
Ayat ini tidak menunjukkan keharamannya. Dengan demikian, onani hukumnya halal, sebagaimana firman Allah:
Artinya:“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu …” [QS. al-Baqarah (2): 29]
Dari berbagai macam pendapat di atas, hemat kami bahwa onani hukumnya adalah makruh karena cenderung tidak etis dan tidak pantas dilakukan. Dan dalam kondisi tertentu dibolehkan, namun tidak boleh dilakukan secara rutin atau terus menerus. Kondisi tertentu itu antara lain seperti untuk kasus sepasang suami-istri yang terpisahkan tempat tinggalnya. Para sahabat pun dalam sebuah riwayat pernah melakukan onani ketika sedang bepergian melakukan perang. Juga dibolehkannya seorang istri yang sedang dalam keadaan haid membantu keluarnya mani sang suami (maaf, dengan tangan istri tersebut) di mana dalam keadaan tersebut sang istri sedang terhalang secara syar’i (agama) untuk melakukan hubungan suami istri. Sebagaimana merujuk pada sebuah riwayat dalam Shahih Muslim kitab al-Haidh (646):
حَدَّثَنَا ثَابِتٌ عَنْ أَنَسٍ ، أَنَّ الْيَهُودَ كَانُوا، إِذَا حَاضَتِ الْمَرْأَةُ فِيهِمْ، لَمْ يُؤَاكِلُوهَا وَلَمْ يُجَامِعُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ، فَسَأَلَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ النَّبِيَّ . فَأَنْزَلَ الله تَعَالَى: وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذىً فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ … إِلَى آخِرِ الآيَةِ. (البقرة الآية: 222) فَقَالَ رَسُولُ اللّهِ :اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ. [رواه مسلم]
Artinya: “Telah menceritakan pada kami Tsabit dari Anas ra. bahwa (suatu kebiasaan) orang-orang Yahudi apabila wanita-wanita mereka sedang haid, mereka tidak mau makan bersama-sama, bahkan tidak untuk tinggal serumah. Maka para sahabat bertanya perihal itu, lalu turun ayat: “Mereka bertanya tentang haid. Katakanlah: Haid itu kotor. Karena itu jauhilah wanita-wanita itu selama masa haid.” [QS. al-Baqarah (2): 222]. Lalu Rasulullah saw. bersabda: “Kamu boleh melakukan segala-galanya selain bersenggama.” [HR. Muslim]
Selain itu, artinya bagi mereka yang membiasakan beronani dan tidak dalam kondisi tertentu, maka ia telah bermaksiat dan melakukan perbuatan yang terkategori pengantar menuju zina. Padahal Allah berfirman:
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” [QS. al-Isra’ (17): 32]
Dari segi kesehatan, jika onani atau masturbasi itu sering dilakukan dan menjadi kebiasaan, demikian dapat menggangu kesehatan jasmani (susunan syaraf) dan rohaninya (mental-pikiran). Juga dapat melemahkan potensi kelamin serta kemampuan ejakulasinya, sehingga sel sperma lelaki cenderung gagal bertemu dengan sel telur wanita (ovum) (al-Jurjawi, 1931:198-199).
Beberapa langkah yang dianjurkan agar setiap muslim menjauhi dan terhindar dari perbuatan onani ini di antaranya sebagai berikut:
Salah satu karakteristik ajaran Islam adalah rahmatan lil-alamîn. Bahwa Islam sebagai rahmat bagi semesta alam. Satu maksud dari karateristik tersebut bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang sarat akan manfaat dan mashlahat, baik pada tataran individu maupun sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu Islam mengajarkan pemeluknya untuk memberikan manfaat dan mashlahat kepada orang lain atau sesamanya.
Demikian tercermin pula jika kita melihat konsep harta dalam Islam. Harta dalam Islam adalah titipan Allah SWT, pemilik seluruh alam raya dan segala isinya, termasuk pemilik harta benda. Seseorang yang beruntung memperolehnya pada hakikatnya hanya menerima titipan amanah untuk disalurkan dan dibelanjakan sesuai dengan kehendak pemiliknya (Allah SWT). Manusia yang dititipi itu berkewajiban memenuhi ketetapan yang digariskan sang Pemilik, baik dalam pengembangan harta maupun penggunaannya.
Zakat merupakan salah satu ketetapan Allah menyangkut harta, pun demikian dengan shadaqah dan infaq. Karena Allah SWT menjadikan harta benda sebagai sarana kehidupan untuk umat manusia seluruhnya, sehingga ia harus diarahkan guna kepentingan bersama. Manusia adalah makhluk sosial yang berasal dari satu keturunan, sehingga manusia satu dengan yang lainnya adalah saudara. Kebersamaan dan persaudaraan inilah yang mengantarkan kepada kesadaran untuk menyisihkan sebagian harta kekayaan, khususnya kepada mereka yang membutuhkan, baik dalam bentuk kewajiban zakat, maupun shadaqah dan infaq.
Allah berfirman:
Artinya: “Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” [QS. al-Hadid (57): 7]
Oleh karena itu, perbuatan saudara memberikan pertolongan berupa biaya sekolah terhadap gadis yang masih berstatus sekolah tersebut dikarenakan tidak mampu, sesuai dengan firman Allah di atas. Jika perbuatan tersebut didasari niat ikhlas membantu karena Allah SWT tanpa tendensi (motif) apapun dan dilakukan dengan cara-cara yang benar, maka Insya Allah ridha Allah mengiringi saudara. Terkait dengan dilema kasus yang saudara hadapi, dalam hal ini kami menganjurkan beberapa hal sebagai berikut:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَقُولُ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ … [رواه مسلم، 1، كتاب الحج، 424/1341]
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw ketika beliau berkhutbah, bersabda (sebagai berikut): Janganlah seorang laki-laki menyendiri dengan seorang perempuan, kecuali perempuan tersebut bersama mahramnya, …” [HR. Muslim; Kitab al-Hajj: 424/1341]
Demikian jawaban dari kami, semoga dapat memberikan solusi dan pencerahan atas persoalan saudara.
Wallahu ‘alam bish-shawâb
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM No 14 Tahun 2010