REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Plastik merupakan suatu synthetic organic polymer yang awalnya sangat bermanfaat dan akrab ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Sifatnya yang ringan, kuat, tahan lama, murah, dan mudah dibentuk, membuat banyak produk berbahan dasar plastik.
Manfaat yang banyak tersebut mendorong produksi plastik di dunia terus meningkat. Pada tahun 1950 produksi plastik hanya berkisar 0.35 metric tons, sedangkan pada tahun 2016 produksi plastik sudah mencapai 335 metric tons.
Hal ini disampaikan Dr. Mufti Petala Patria, dalam Online General Lecture Series di Program Studi Magister Ilmu Kelautan bertajuk “Microplastic Pollution: A Serious Problem in Our Ocean” yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (FMIPA UI).
"Produksi plastik yang tinggi tersebut sebagian besar akan menjadi sampah. Sekitar delapan juta ton sampah plastik akan dibuang atau terdeposit di laut. Sampah di laut banyak yang terdampar di pesisir pantai dan banyak juga yang mengambang terbawa arus di permukaan laut. Plastik-plastik di lautan tersebut sangat mengganggu hewan-hewan laut," ujar Mufti dalam siaran pers yang diterima Republika, Selasa (14/6/2022).
Lanjut Mufti, sebagai contoh sampah jaring nelayan yang menjerat hewan laut seperti penyu, hiu, paus. "Selain itu, sampah di laut juga dapat dianggap oleh hewan laut sebagai makanan dan ketika termakan akan mempengaruhi sistem pencernaannya hingga menyebabkan kematian pada hewan tersebut," terangnya yang juga merupakan dosen pada matakuliah Oseanografi dan Biologi laut di Departemen Biologi, FMIPA UI.
Mufti juga menyampaikan terdapat juga jenis sampah plastik yang membahayakan bagi biota dan ekosistem laut yaitu mikroplastik. Mikroplastik merupakan plastik dengan ukurannya lebih kecil dari 5mm. Mikroplastik sendiri dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu primary dan secondary microplastic.
“Maksud dari primary adalah mikroplastik yang sengaja dibuat dengan ukuran mikro (microbeads), biasanya digunakan untuk produk pasta gigi dan b produk kecantikan (facial scrubs). Sedangkan, secondary microplastic terbentuk akibat hancurnya plastik yang besar menjadi serpihan kecil akibat faktor abiotik maupun biotik,” jelasnya.
Baik primary maupun secondary microplastik, keduanya dapat mencemari lautan dan membahayakan ekosistem laut. Sebagai contohnya adalah hasil penelitian yang telah dilakukan di Kamal Muara, Jakarta Utara. Hasilnya diperoleh adalah dalam satu kilogram sedimen terdapat mikroplastik sebanyak 868.33 partikel.
Seperti halnya sampah plastik biasa, mikroplastik juga dapat masuk kedalam tubuh hewan karena dianggap sebagai makanan. Salah satunya adalah kerang laut yang menyaring air laut untuk mengambil bahan makanannya. Berdasarkan hasil penelitiannya di Muara Kamal, dalam satu kerang hijau dapat mengandung 7 hingga 469 partikel mikroplastik.
Selain itu, mikroplastik juga dapat masuk ke dalam tubuh manusia dari makanan laut yang dikonsumsi. Hal ini menjadi seperti siklus, manusia menghasilkan primary maupun secondary microplastic, lalu mikroplastik tersebut terbawa arus hingga lautan dan dimakan oleh hewan laut yang dikonsumsi oleh manusia kembali.
“Hasil riset pada beberapa hewan percobaan, mikroplastik akan berpengaruh pada perubahan kromosom yang dapat menyebabkan infertilitas, obesitas, dan kanker. Selain itu mikroplastik juga dapat menyebabkan respon imun yang tidak normal. Hal tersebut mungkin dapat terjadi pula pada manusia” papar Mufti.
Oleh sebab itu, perlunya kesadaran dan keseriusan dalam mengatasi masalah mikroplastik yang tidak hanya mengancam ekosistem laut tetapi juga kesehatan manusia.
“Hal utama yang bisa dilakukan adalah mengurangi penggunaan plastik, menggunakan kembali plastik (recycle), berpartisipasi dalam kegiatan membersihkan sampah di sungai atau pantai, mengurangi penggunaan microbeads dalam produk kecantikan, ikut mengkampanyekan upaya mengurangi penggunaan plastik, dan mendukung organisasi yang berperan aktif dalam mengurangi sampah plastik,” tutur Mufti memberikan solusi dalam mengurangi mikroplastik.