Ahad 30 Jul 2023 18:38 WIB

Merawat Hutan untuk Bumi dan Generasi

Saat ini, kita telah berada pada masa darurat dalam perubahan iklim.

Pemanasan global (ilustrasi)
Foto: www.ctv.ca
Pemanasan global (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: M. Arief Rosyid Hasan, Pengurus Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU)

Rasulullah pernah bersabda jika besok kiamat datang dan yang tersisa di tangan manusia ada satu bibit tanaman, maka tanamlah bibit tersebut. Sabda beliau pada 500-an masehi yang lalu, kini berbuah peringatan untuk seluruh manusia, terkhusus bagi pengikutnya mengingat kerusakan alam yang kini terjadi.

Ancaman kerusakan serta krisis iklim, utamanya setelah revolusi industri di Eropa menandai kebangkitan modernisasi dan putusnya kesadaran manusia dalam menjaga alam. Saat ini, kita telah berada pada masa darurat, artinya jika pembangunan dan pertambangan tak lagi berbasis ramah lingkungan, maka tak lama lagi bencana alam besar akan menenggelamkan manusia.

Berdasarkan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terdapat 749 peristiwa bencana alam di Indonesia sejak 1 Januari hingga 31 Maret 2023. Dari jumlah tersebut, banjir yang paling banyak terjadi dengan total 331 kejadian. Jumlah ini setara 44,19% dari total kejadian bencana nasional pada periode tersebut.

Terdapat 226 peristiwa cuaca ekstrem, 130 tanah longsor, 41 kebakaran hutan dan lahan (karhutla), 10 gelombang pasang/abrasi, 9 gempa bumi, dan 2 erupsi gunung api. Seluruh kejadian bencana itu menjadikan lebih dari 5,49 juta orang menderita dan mengungsi, 851 orang meninggal dunia, 8.726 orang luka-luka, dan 46 orang hilang dan mengakibatkan 95.051 rumah rusak.

    

Penjaga Gunung

Di kaki Gunung Lemongan, di sebuah rest area Gunung Lemongan, Dusun Gunung Kenik, Desa Papringan, Kecamatan Klakah, Lumajang, saya mengunjungi sahabat A’ak Abdullah Al-Kudus. sosok pemuda penjaga Gunung Lemongan. Sambil menikmati durian lokal dan camilan serta minuman khas Lumajang, kami berinteraksi dan saya banyak mendengar bagaimana ia yang juga pendiri Laskar Hijau memulai perjalanannya dalam menjaga gunung dan memberdayakan masyarakat desa sekitar gunung.

Bersama relawan Laskar Hijau, A’ak Abdullah menghijaukan kembali Gunung Lemongan yang sejak tahun 1998 hingga 2002 terjadi penebangan liar dan pembakaran besar-besaran yang menyisakan kondisi hutan yang gersang dan kering. Ribuan hektar hutan yang gundul itu menyebabkan keringnya ranu-ranu yang menjadi sumber air bagi warga. Berangkat dari keprihatinanan akan gundulnya hutan di belakang rumahnya, krisis air yang menimpa warga, serta kebakaran hutan, ia mengajak para pemuda untuk ikut bersama melakukan penghijauan kembali.

Hutan Gunung Lemongan sendiri dikelilingi banyak ranu yang berfungsi menampung banyak air, sementara penggundulan hutan yang terjadi belakangan ini, menjadikan penurunan debit air pada semua ranu, bahkan pada 2007 ada satu ranu yang mati total hingga hari ini. Air menjadi barang mewah nan langka dan matinya,selain itu matinya beberapa ranu menganggu ekosistem. Air yang berfungsi sebagai irigasi di lahan produktif dan pertanian warga menjadi semakin menipis yang berdampak pada perekonomian, pendidikan, kesehatan warga masyarakat sekitar kaki Gunung Lemongan.  

Jalan panjang menjaga hutan ini terus dilakoni olehnya, meski para relawan datang dan pergi seperti musim yang tak menentu di tengah krisis iklim hari ini. Saat antusiasme mulai memudar dan para perintis satu per-satu pergi, Mas A’ak memilih untuk bertahan dan melanjutkanya secara perlahan.

Dalam wawancaranya dengan salah satu media, ia mengatakan di masa kritis itu jika mundur, maka habislah cerita konservasi hutan di Gunung Lemongan. Ia berdoa, kalaupun hanya sendirian menanam, jika ia hanya mampu menanam satu pohon dalam sebulan, ia meminta diberi kekuatan pada Sang Maha Alam. Dari doa dan keyakinannya menjaga hutan, orang-orang yang pergi itu tergantikan oleh orang-orang baru. Mereka adalah para pemuda desa.

Pilihannya untuk merawat hutan bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan manusia yakni air dan udara, namun juga menanam baginya adalah ibadah dan kewajiban untuk menjaga bumi. KH Ali Yafie, dalam pandangannya tentang ekologi yang termaktub dalam bukunya Merintis Fiqh Lingkungan, diingatkan bahwa manusia memiliki kewajiban pemeliharaan lingkungan yang disebut dengan (hadd al kifayah) atau produksi dan konsumsi harus sesuai dengan standar kebutuhan layak manusia. Mengeksploitasi kekayaan alam secara berlebihan (israf), serakah (thama`) dan tidak wajar adalah berbahaya (terlarang). Tugas manusia ialah menjaga  keselarasan dan keseimbangan alam (ekosistem) mutlak ditegakkan.

Bagi KH Ali Yafie, manusia adalah pelaku pengelolaan alam semesta (mukallaf) akan diminta pertanggungjawabannya atas segala tindakannya, baik di dunia maupun di akhirat. Selain itu, beliau juga menambahkan bahwa sumber daya alam seperti air, tanah dan udara sangat diperhatikan oleh Islam (baca fiqh) untuk kelestarian semua makhluk hidup. Bahkan dijadikan sebagai sarana penting yang sangat menentukan bagi kesempurnaan iman seseorang. Sayyid Husain Nasr pernah mengemukakan, “Mereka yang percaya bahwa barang siapa yang berdamai dengan Tuhan, maka ia akan berdamai dengan ciptaannya, dengan alam, dan dengan manusia”.

Tentu, setiap orang mengemban perannya masing-masing di muka bumi, tapi menjaga alam adalah tugas setiap manusia entah dalam bentuk gerakan apa yang kita pilih. Kita membutuhkan A’ak Abdullah yang lebih banyak untuk setiap air yang mengalir dan udara yang kita hirup, untuk bumi dan generasi selanjutnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement