Selasa 17 Oct 2023 20:46 WIB

Populasi Katak di Dominika Turun Drastis, Ilmuwan Sebut Fenomena Kepunahan Tercepat

Populasi katak 'chicken frog' asal Dominika turun dari ratusan ribu menjadi 21 ekor.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Populasi katak 'chicken frog' asal Dominika turun drastis, dan menjadi fenomena kepunahan hewan tercepat yang pernah tercatat ilmuwan.
Foto: Mirror
Populasi katak 'chicken frog' asal Dominika turun drastis, dan menjadi fenomena kepunahan hewan tercepat yang pernah tercatat ilmuwan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Populasi mountain chicken frog atau katak parit raksasa pernah begitu banyak, sehingga kerap dimasak sebagai hidangan nasional di Dominika. Setiap tahun, ribuan katak tersebut dipanggang dengan bawang putih dan lada untuk disantap oleh penduduk pulau dan wisatawan.

Dua dekade kemudian, hewan yang merupakan salah satu spesies katak terbesar di dunia ini menghilang dari pulau Karibia. Serangkaian bencana ekologis telah mengurangi populasi yang tadinya sehat dan stabil, dimana menurut survei terbaru para ilmuwan, katak tersebut kini tinggal 21 ekor saja dari semula ratusan ribu ekor.

Baca Juga

Kecepatan penurunan populasi hewan bernama latin “Leptodactylus fallax” ini dianggap sebagai salah satu fenomena kemusnahan hewan liar tercepat yang pernah tercatat.

"Ini adalah hewan yang luar biasa. Pulau ini dulunya ramai dengan suara katak chicken. Saat ini hanya ada kesunyian. Ini adalah spesies yang menghadapi kepunahan di alam liar, padahal beberapa dekade lalu masih dalam kondisi stabil. Nasibnya memberikan peringatan yang sangat jelas kepada kita tentang bahaya yang dihadapi satwa liar di Bumi saat ini,” kata Andrew Cunningham, kepala epidemiologi satwa liar untuk Zoological Society London (ZSL).

Penyebab awal kemusnahan katak parit raksas adalah jamur chytrid yang menginfeksi kulit amfibi, tempat untuk minum dan bernapas. Setelah terinfeksi, katak menjadi lesu dan mati dalam waktu satu bulan.

Jamur ini telah disalahkan atas penurunan jumlah amfibi yang signifikan di berbagai belahan dunia, tetapi tidak ada yang dampaknya begitu cepat dan memakan banyak korban seperti yang terjadi di pulau Dominika. Dalam waktu 18 bulan sejak kemunculannya pertama kali pada tahun 2002, ia telah melenyapkan 80 persen populasi katak parit raksasa di pulau itu.

"Itu adalah penurunan yang mengerikan. Dan jumlahnya terus menurun hingga tidak terdeteksi lagi di alam liar di Dominika,” kata Cunningham seperti dilansir The Guardian, Selasa (17/10/2023).

Hal yang lebih buruk terjadi kemudian. Katak parit raksasa pada saat itu hanya ditemukan di satu tempat lain di Bumi yaitu pulau Montserrat, yang terletak di Karibia. Para ilmuwan mendesak pihak berwenang di sana untuk menerapkan tindakan karantina yang ketat untuk menghentikan penyebaran penyakit ini ke seluruh pulau.

"Peringatan ini gagal, meskipun di satu sisi, kami telah bersiap untuk skenario terburuk mengingat apa yang telah terjadi di Dominika. Kami berhasil mengumpulkan beberapa katak di pulau itu sebelum penyakit mulai menyebar pada tahun 2009 dan satwa-satwa ini sekarang ditempatkan di kandang biosecure di beberapa kebun binatang di Eropa, termasuk kebun binatang di London," kata Andrés Valenzuela, seorang ahli kesehatan satwa liar di Institut Zoologi ZSL.

Namun ada satu berita menggembirakan, dimana beberapa katak yang masih hidup telah ditemukan dan hewan-hewan ini tampaknya secara alami kebal terhadap jamur chytrid.

"Segalanya tampak sedikit lebih baik, sampai Badai Maria menghantam pulau ini pada tahun 2017. Itu adalah badai terkuat yang pernah pulau ini dan kehancurannya menghancurkan populasi katak yang sudah rapuh, mengurangi jumlahnya hingga lebih dari 90 persen," kata Jeanelle Brisbane, ahli ekologi satwa liar dari Divisi Kehutanan, Margasatwa, dan Taman di Dominika dan pendiri WildDominique.

Anggota Leptodactylus fallax yang bertahan di Dominika juga hanya tinggal dua populasi kecil di daratan. Selain itu, perubahan iklim mempengaruhi kedua pulau tersebut, memicu kekeringan dan menghambat upaya untuk menyelamatkan spesies tersebut.

“Kita masih memiliki waktu beberapa tahun untuk mencoba melakukan sesuatu sebelum mountain chicken frog punah di alam liar. Ini adalah situasi yang sulit,” kata Cunningham.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement