Senin 04 Dec 2023 17:25 WIB

Para Pemimpin COP28 Didesak untuk Lindungi Masyarakat Adat

Perubahan iklim mengancam hutan hujan Amazon selama beberapa dekade terakhir.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Warga berjalan di danau Puraquequara yang mengering untuk mencari air di tengah kekeringan parah, di Manaus, negara bagian Amazonas, Brazil.
Foto: AP Photo/Edmar Barros
Warga berjalan di danau Puraquequara yang mengering untuk mencari air di tengah kekeringan parah, di Manaus, negara bagian Amazonas, Brazil.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ancaman terhadap hutan hujan Amazon akibat perubahan iklim dan tata guna lahan telah dirasakan selama beberapa dekade terakhir. Meskipun telah ada perbaikan, bencana ekstrem yang terjadi baru-baru ini di kawasan tersebut menyoroti perlunya tindakan yang mendesak dan efisien.

Kondisi kemarau di Brasil, yang memiliki 66 persen hutan hujan, dimulai sebulan lebih awal dari biasanya pada tahun ini. Sejak September, hutan hujan telah menyaksikan sekitar 7.000 kebakaran hutan, menurut Brazil’s National Institute for Space Research.

Baca Juga

Pada hari-hari berikutnya, terlihat jelas bahwa lembah Sungai Amazon berada dalam cengkeraman kekeringan yang parah. Ketinggian air di Sungai Negro, anak sungai terbesar dari sungai Amazon, turun ke tingkat terendah dalam sejarah di Pelabuhan Manaus di Brasil.

Hal ini mengindikasikan adanya krisis global karena lembah Amazon mengalirkan seperlima air tawar dunia. Dan inilah yang ingin disuarakan oleh para pemimpin masyarakat adat dalam Konferensi Para Pihak ke-28 Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (COP28) yang sedang berlangsung.

"Hutan hujan Amazon terbakar dan mengalami kekeringan parah akibat deforestasi, industri ekstraktif, pertanian industri, perubahan iklim, dan ancaman lainnya," kata Amazon Watch, sebuah organisasi nirlaba yang bekerja untuk melestarikan hutan dan hak-hak masyarakat adat, dalam sebuah media advisory. Amazon Watch akan hadir di COP28 untuk mendukung suara-suara masyarakat adat dari wilayah tersebut.

Organisasi ini mencatat bahwa para pemimpin masyarakat adat di wilayah tersebut menginginkan agar hak-hak mereka atas hutan dilindungi dan ditingkatkan dengan pijakan perang. Hanya dengan demikian keanekaragaman hayati yang kaya di Amazon dan iklim global dapat dilestarikan.

Pada konferensi perubahan iklim tahunan PBB tahun ini, delegasi Masyarakat Adat Amazon menjadi yang terbesar di antara semua delegasi masyarakat adat. Mereka akan menyerukan bahwa keadaan darurat Amazon adalah keadaan darurat iklim. Melalui beberapa acara dan musyawarah, mereka ingin memperkuat pendirian mereka untuk perlindungan permanen wilayah adat.

Amazon Watch juga akan menuntut diakhirinya pertambangan industri di wilayah-wilayah yang sensitif terhadap lingkungan seperti Amazon, serta penghentian penggunaan bahan bakar fosil secara menyeluruh dan mendesak. Organisasi nirlaba tersebut akan bergabung dengan rekan-rekan mereka dari wilayah Amazon lainnya dan negara-negara lain untuk menyerukan keadilan iklim dan transisi energi yang adil.

"Delegasi tersebut termasuk Asosiasi Masyarakat Adat Brazil dan Koordinasi Organisasi Adat Amazon Brazil, yang berencana untuk meluncurkan dana iklim yang dipimpin oleh masyarakat adat, Asosiasi Nasional Pejuang Perempuan Adat Leluhur, dan Persatuan Perempuan Adat dari Amazon Brazil," demikian menurut Amazon Watch seperti dilansir Down to Earth, Senin (4/12/2023).

Para pemimpin perempuan adat Brazil juga telah bergandengan tangan untuk memastikan bahwa COP30 akan melihat partisipasi yang kuat dari para aktivis iklim perempuan dalam kepemimpinan dan pembuatan kebijakan. COP30 sendiri akan diselenggarakan di Brazil pada tahun 2025.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement