REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra*
KPU RI sudah mengumumkan hasil final rekapitulasi nasional pada Rabu (20/3/2024) malam WIB. Hasilnya, pasangan nomor urut 1, Anies Rasyid Baswedan-Abdul Muhaimin Iskandar meraih 24,9 Persen, pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mendapatkan 58,6 persen, dan pasangan nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD hanya mengumpulkan 16,4 persen.
Koalisi Perubahan yang merupakan tagline pasangan Anies-Muhaimin seolah gembos di tengah perjalanan. Pasangan yang mengidentikkan sebagai lawan politik pemerintah saat ini, hanya bisa menang di Provinsi Aceh dan Sumatra Barat.
Dua provinsi itu sebelumnya selalu memilih Prabowo ketika melawan Jokowi pada Pemilu 2014 dan 2019. Karena kini Prabowo dianggap pelanjut Jokowi maka mayoritas masyarakat dari Aceh dan Sumbar memilih Anies.
Baca: Mengenal Figur Mayjen Soenarko dan Letjen Suharto yang Demo di Depan KPU
Sayangnya, di provinsi padat penduduk, Koalisi Perubahan tidak berdaya. Prabowo malah digdaya. Jika dua pemilu sebelumnya Prabowo hanya unggul di Jawa Barat dan Banten, kali ini ditambah menang di Jawa Tengah dan Jawa Timur, plus Sumatra Utara dan Bali.
Hebatnya, Prabowo bisa menang tipis di Jakarta. Hal itu membalikkan keadaan lantaran Prabowo selalu kalah di Jakarta pada Pemilu 2014 dan 2019. Padahal, Jakarta dikenal sebagai salah satu basis pendukung Anies. Hal itu lantaran Anies adalah gubernur DKI periode 2017-2022.
Kemenangan Prabowo di 36 provinsi memang sangat mengejutkan, meski sebenarnya sudah diprediksi sebelumnya. Namun, angka 58 persen terasa sangat besar sekali jaraknya dengan peringkat kedua dan ketiga. Jika suara Anies dan Ganjar digabung maka baru terkumpul 41,3 persen. Masih jauh dengan torehan Prabowo di angka 58,6 persen.
Baca: Pemilih Bodoh: Di Antara Coblos Prabowo dan Dukung Rusia, Benarkah?
Mengapa kompetisi Pemilu 2024, seakan tidak seimbang? Jawabannya sudah jelas. Anies salah strategi menggandeng Muhaimin. Ketika Prabowo memilih hati-hati ketika akhirnya memutuskan menggandeng Gibran, Anies malah melepas Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Keputusan Anies meninggalkan AHY jelas sebuah kesalahan fatal. Apa pasal? Pasangan Anies-AHY adalah benar-benar representasi perubahan. Sesuai dengan tagline Koalisi Perubahan. Sehingga ketika berjualan program ke masyarakat maka pemasarannya menjadi enak, mudah, dan langsung dimengerti.
Berbeda ketika akhirnya Anies memilih Muhaimin. Memang betul yang memilihkan Anies dengan Muhaimin adalah Surya Paloh. Namun, harusnya kala itu, Anies secara gentle meminta maaf bertemu langsung dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan AHY untuk menjelaskan rumitnya Koalisi Perubahan.
Baca: Prabowo Gunakan Bahasa Prancis Ketika Ditelepon Presiden Emmanuel Macron
Sayangnya, Anies tidak memanfaatkan momentum itu. Dia malah langsung menerima untuk berpasangan dengan Muhaimin dan menggelar deklarasi di Kota Surabaya. Akhirnya, Koalisi Perubahan terdiri Partai Nasdem, PKB, dan PKS. Deklarasi di Surabaya juga terkesan mengabaikan PKS.
Alhasil, dalam perjalanannya, Koalisi Perubahan tidak mulus berjualan program. Hal itu lantaran Nasdem dan PKB adalah partai bagian pemerintah. Selama ini, kedua partai itu selalu mendukung setiap kebijakan Jokowi, termasuk pembangunan IKN di Kalimantan Timur.
Berbeda seandainya pasangan Anies-AHY bisa melaju. Tentu daya gedornya ketika mengkritik pemerintah menjadi lebih bergema dan besar. Selama ini, hanya PKS dan Demokrat yang relatif konsisten mengkritisi Jokowi. Namun, nasi sudah menjadi bubur.
Baca: Prabowo Kalahkan Anies di Jakarta, Berikut Perincian Angkanya
Akhirnya, beberapa kali, ketika Anies mengkritik pemerintah, hal itu seperti menampar muka sendiri. Selain soal IKN, Anies pernah berjanji untuk merevisi UU Cipta Kerja. Padahal, aturan itu disahkan oleh Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, yang tak lain kader PKB. Ida merupakan anak buah Cak Imin.
Sehingga dalam perjalanan kampanye, banyak sekali berbagai kritikan Anies yang sebenarnya ditujukan ke pemerintah maka hal itu seolah menggerogoti kekuatan sendiri. Pasalnya, berbagai kebijakan yang dikritik Anies, sebelumnya malah disuport Muhaimin. Karena itu, kritikannya akhirnya hanya menjadi bahan bercandaan.
Belum lagi, sosok AHY lebih menjual di kalangan anak muda dibandingkan Muhaimin. Plus, AHY dan Demokrat bukan menjadi bagian pemerintah Jokowi pada kala itu. Bahkan, di DKI Jakarta, Demokrat termasuk yang setia membela Anies dari serangan kubu lawan, termasuk dari politikus Nasdem.
Tentu kondisinya berbeda jika Koalisi Perubahan masih terdiri Nasdem, Demokrat, dan PKS. Berbagai suara yang digelorakan Anies bisa dengan mudah dicerna masyarakat. Pun posisi Anies akan langsung head to head dengan Prabowo yang harus berebut ceruk suara dengan Ganjar di kubu Jokowi.
Baca: Prabowo dan Raja Yordania Hari Ini Berkomunikasi, Sama-Sama Alumni Fort Bragg
Dengan begitu, peluang Anies mendapatkan suara dari masyarakat pasti lebih besar. Namun, karena berpasangan dengan Muhaimin yang notabene elektabilitasnya jauh di bawah AHY, jualan program Anies akhirnya dianggap sebagai omon-omon belaka.
Dengan menyerang Prabowo ketika debat capres, mengkhianati SBY menjelang pendaftaran capres, serta berada di seberang Jokowi, kini masa depan politik Anies menjadi tidak menentu. Apalagi, Anies tidak memiliki partai. Dia juga sudah loncat sana loncat sini dalam karier politiknya mulai 2013-2024. Sehingga, hampir dipastikan tertutup peluang bagi Anies untuk bisa bergabung dalam kabinet Prabowo.
Peluang di dunia politik sebenarnya belum tertutup. Anies bisa maju untuk ikut Pilgub DKI 2024. Namun, siapa partai yang mau mengusungnya? Pada Pilpres 2024, ia kalah melawan Prabowo di Jakarta. Dengan handicap seperti itu maka jalan politik yang dilalui Anies memang penuh onak dan duri, jika ia tidak berubah arah total kembali ke dunia akademis menjadi dosen.
*Penulis wartawan Republika.co.id.