Rabu 08 Jan 2025 20:30 WIB

Konsekuensi Setelah BRICS

Keseimbangan kebijakan luar negeri harus terus menjadi pijakan.

Menlu RI Sugiyono (berpeci) di antara kepala negara dan delegasi berpose di sela KTT BRICS Summit di Kazan, Rusia, Kamis, 24 Oktober 2024.
Foto: Alexander Nemenov, Pool Photo via AP
Menlu RI Sugiyono (berpeci) di antara kepala negara dan delegasi berpose di sela KTT BRICS Summit di Kazan, Rusia, Kamis, 24 Oktober 2024.

Oleh : Hardy R Hermawan, Peneliti SigmaPhi Indonesia, Mahasiswa Doktoral Perbanas Institute

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peta dunia di tahun 2025 mulai berubah. BRICS—aliansi negara mencakup Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan—kian tampak sebagai kekuatan signifikan dalam geopolitik dan ekonomi global. Aliansi ini telah menambah bobotnya dengan adanya anggota baru meliputi Indonesia, Mesir, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab. Di Indonesia, berita keikutsertaan menjadi anggota tetap BRICS, di awal 2025, juga mengundang diskusi hangat.

Tambahan anggota bagi BRICS jelas menegaskan pengaruh sebagai alternatif menarik dalam tatanan internasional yang selama ini didominasi barat. PM India Narendra Modi (2024) menyatakan, BRICS harus bersatu dan bersuara jelas dalam membentuk dunia yang damai, seimbang, dan stabil. BRICS dapat memanfaatkan kekuatan satu sama lain, dalam pengetahuan, keterampilan, dan sumber daya.

Prospek BRICS memang menjanjikan. Negara-negara anggota BRICS menyumbang 36,7 persen dari PDB global pada akhir 2024, melampaui kontribusi negara G7 yang sebesar 34 persen. Selama kurun 2016-2024, anggota-anggota BRICS tumbuh 3 persen, lebih tinggi dibandingkan G7 yang 1,3 persen. 

Tujuan utama BRICS adalah menciptakan tatanan dunia multipolar, mengurangi ketergantungan pada dolar AS, dan meningkatkan kerja sama ekonomi antar-anggota. Negara-negara anggota BRICS mewakili porsi besar populasi dan output ekonomi global dan menyediakan platform kuat untuk kerja sama ekonomi dan pembangunan. Pembentukan institusi seperti New Development Bank menawarkan sumber daya keuangan alternatif untuk proyek infrastruktur dan pembangunan, mengurangi ketergantungan pada lembaga-lembaga keuangan Barat. 

Sinergi di antara negara BRICS dapat memunculkan pasar yang tumbuh cepat. Itu penting. Martin Sorrell (2023) menegaskan pentingnya pasar yang tumbuh cepat, yang bukan berasal dari Amerika Serikat atau Eropa Barat – tetapi dari Asia, Amerika Latin, dan Afrika—sehingga bisa mendorong pertumbuhan dunia. Selain itu, BRICS berfungsi sebagai forum kerja sama politik, memungkinkan anggotanya berkoordinasi dalam isu-isu internasional dan menghadirkan front bersatu dalam negosiasi global.

Bobot ekonomi dan demografis BRICS menjadikannya entitas tangguh dalam urusan global. Mereka juga akan mendorong kerja sama ekonomi, memfasilitasi perdagangan antar-anggota, dan berinvestasi dalam proyek pembangunan bersama. Presiden Rusia Vladimir Putin (2021) mengilustrasikan hubungan Rusia-China saat ini ibarat kemitraan strategis, bahkan kemitraan strategis khusus. Putin menyatakan, Rusia belum pernah memiliki tingkat kepercayaan seperti ini dengan China sebelumnya. Itu modal untuk masa depan BRICS.

BRICS juga dapat merangsang pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pengaruh global anggotanya. Selain itu, dengan mendorong reformasi institusi internasional untuk lebih mewakili negara-negara berkembang, BRICS dapat berkontribusi pada struktur tata kelola global yang lebih seimbang dan adil. Michael Anti (2010) mengatakan, negara-negara BRIC adalah gambaran ekonomi yang sedang tumbuh pesat dan bisa membantu pemulihan ekonomi dunia.

Untuk mewujudkan potensinya, BRICS punya banyak pe-er. BRICS harus mampu memperkuat kohesi internal melalui mekanisme penyelesaian konflik yang efektif untuk mengelola perselisihan dan mempertahankan persatuan. BRICS juga mesti menetapkan tujuan bersama yang jelas untuk membantu menyelaraskan kepentingan beragam negara anggota dan memastikan kolaborasi diarahkan pada tujuan bersama. 

Upaya diplomasi proaktif juga penting. Membangun hubungan konstruktif dengan negara non-anggota dapat mengurangi pertentangan dan menciptakan lingkungan lebih kondusif. BRICS pun dapat berinvestasi dalam proyek pembangunan berkelanjutan yang mencakup aspek lingkungan sehingga meningkatkan kredibilitas dan daya tarik. Presiden Tiongkok Xi Jinping (2024) menyatakan pentingnya dialog dan diplomasi, yang dinilai lebih utama daripada perang, dan itulah, kata dia, BRICS.

 

Faktor Internal, Eksternal, dan Peluang Indonesia

Keberhasilan aliansi ini memang bergantung pada kemampuannya mengatasi kompleksitas internal, bertahan menghadapi tekanan eksternal, dan menerapkan strategi yang mempromosikan persatuan dan kemajuan bersama. Dengan katalisator yang tepat, BRICS dapat memainkan peran penting dalam membentuk tatanan dunia yang lebih adil dan multipolar.

Tantangan paling signifikan dari aliansi ini adalah keberagaman anggotanya, mencakup sistem politik, struktur ekonomi, dan kepentingan nasional yang berbeda. Heterogenitas ini dapat menyebabkan perbedaan internal dan menghambat pembentukan kebijakan yang kohesif. Perbedaan sikap terhadap konflik geopolitik atau strategi ekonomi dapat menciptakan gesekan di dalam kelompok. 

Dominasi Tiongkok dan Rusia dalam BRICS juga dapat menimbulkan kekhawatiran, nenyangkut potensi agenda sendiri oleh kedua negara tersebut. Ian Bremmer (2012) menjelaskan, institusi internasional kerap menjadi perpanjangan konflik nilai dan kepentingan anggotanya. Itulah yang terjadi di Dewan Keamanan PBB, Majelis Umum, G20, IMF, dan lain-lain. Nah, mengapa pula itu tidak akan terjadi pada BRICS? Siapa pula pemimpin BRICS?

Jadi, potensi kegagalan BRICS terletak pada dinamika internalnya. Termasuk pula rivalitas Tiongkok dan India yang dapat merusak persatuan aliansi ini. Tiongkok dan India adalah dua kutub dominan di Asia selama berabad-abad. 

Secara eksternal, respons dari kekuatan Barat yang mapan, terutama terhadap inisiatif dedolarisasi, menjadi hambatan besar. Amerika Serikat telah menyatakan kekhawatiran terhadap upaya BRICS mengurangi dominasi dolar AS, dengan ancaman dampak ekonomi. Ketegangan seperti ini bisa berkembang menjadi konflik ekonomi yang lebih luas, yang dapat mengancam kohesi dan tujuan aliansi. 

Respons kekuatan lama seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat, yang berusaha mempertahankan dominasi mereka dalam tatanan global, tak bisa dipandang remeh. Tekanan ekonomi berupa diskriminasi terhadap anggota BRICS, atau pembatasan akses ke pasar internasional, dapat melemahkan kapasitas kolektif kelompok ini. Dominasi dolar AS juga menjadi penghalang bagi upaya dedolarisasi yang diupayakan BRICS. Selain itu, kampanye diplomasi global oleh negara-negara Barat, termasuk membangun koalisi dengan negara berkembang di luar BRICS, dapat mengisolasi blok ini secara politik dan ekonomi, mengurangi pengaruhnya dalam isu-isu global.

Kekuatan lama juga dapat memanfaatkan rivalitas internal antara India-Tiongkok, dengan menawarkan insentif ekonomi atau keamanan kepada salah satunya. Barat juga dapat memperkuat kontrol institusi internasional seperti IMF dan Bank Dunia untuk membatasi alternatif pendanaan yang disediakan BRICS. Strategi ini dapat menciptakan ketergantungan lebih besar pada sistem Barat dan melemahkan daya tarik BRICS.

Kini Indonesia sudah memutuskan bergabung dalam BRICS. Tentu ada sejumlah keuntungan yang bisa didapat. Akses ke pasar yang lebih luas dan peluang investasi dari negara-negara anggota BRICS dapat mendorong pertumbuhan ekonomi domestik. Selain itu, Indonesia dapat lebih aktif membentuk tatanan global yang lebih adil, sejalan kepentingan negara-negara berkembang. 

Kekuatan Indonesia dalam BRICS terletak pada posisi strategisnya sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara, dengan pertumbuhan yang stabil. Ekonomi Indonesia yang belum dilengkapi infrastruktur memadai dan tergantung pada ekspor komoditas dapat diperbaiki melalui akses ke pendanaan alternatif New Development Bank dan kerjasama Selatan-Selatan.

Untuk mengoptimalkan manfaat keanggotaan BRICS, Indonesia perlu memperkuat lagi diplomasi ekonomi dan politiknya sambil fokus pada pengembangan kerjasama di sektor-sektor strategis untuk meningkatkan daya saing. Selain itu, Indonesia harus memastikan bahwa kepentingannya tidak terpinggirkan oleh dominasi anggota yang lebih kuat, seperti Tiongkok dan Rusia.

Risiko ketegangan diplomatik dengan Barat harus pula diantisipasi. Setelah masuk BRICS, Indonesia mungkin dinilai bertentangan dengan AS dan UE sehingga perlu antisipasi dampak tekanan ekonomi dan politik. Hubungan internasional dinavigasi hati-hati agar partisipasi dalam BRICS tidak merusak hubungan strategis dengan mitra tradisional. Politik luar negeri bebas aktif dan keseimbangan kebijakan luar negeri harus terus menjadi pijakan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement