Kamis 13 May 2010 07:49 WIB

Rupiah Belum Mengkhawatirkan

Rep: ann/ Red: Krisman Purwoko

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Hartadi A Sarwono mengatakan, fluktuasi nilai tukar rupiah belum mengkhawatirkan. Fluktuasi nilai tukar rupiah dan indeks bursa, menurut dia adalah dampak dari situasi krisis Yunani. ''Mengkhawatirkan, tidak. Tapi kalau untuk siap-siap hal terburuk, itu tetap harus dilakukan,'' kata Hartadi di gedung DPR, Kamis (12/5).

Belajar dari krisis lalu, ujar dia, salah satu langkah jaga-jaga yang harus dilakukan adalah menyiapkan cadangan likuiditas yang besar. Pelemahan nilai tukar rupiah dan keluarnya dana asing dari Indonesia, sebut Hartadi, adalah salah satu indikasi perpindahan dana untuk kepentingan jaga-jaga di negara masing-masing. ''Dana-dana yang sudah ditanam di emerging market ditarik untuk digunakan di sana,'' ujar dia.

Walaupun, Hartadi berpendapat krisis Yunani yang memicu dinamika keuangan dunia hari-hari ini, semestinya sudah tercukupi dari dana talangan yang dikucurkan Uni Eropa dan International Monetary Fund (IMF). ''(Yang ditarik keluar dari emerging market) itu yang kita tidak tahu berapa besar. Kalau kita lihat 750 miliar Euro itu kan gede banget. Harusnya cukup,'' papar Hartadi.

Hingga Selasa (11/5), kata Hartadi, ada penyusutan valas yang sebelumnya ditanamkan di Sertifikat BI (SBI). Jumlahnya sampai Rp 10 triliun. Hal ini menurut Hartadi wajar saja terjadi, karena SBI adalah instrumen yang paling likuid dan gampang dijual. ''Pelemahan tanggal 6,7 kemarin (6 dan 7 Mei 2010), itu memang keluar dari sana (SBI). Kira-kira Rp 10 triliun. Sori bukan keluar, tapi dicairkan,'' papar Hartadi.

Dia menolak menggunakan istilah aliran dana keluar, karena sebagian dana yang keluar dari SBI tetap masuk ke SUN. Meski di pekan ini rupiah sudah mulai pulih, Hartadi mengatakan capital inflow belum mengalir seperti biasanya. ''Tapi, yang keluar pun, yang Rp 10 triliun itu masih teratur, still in order,kita masih bisa tidur nyenyak,'' tegas dia.  

Hartadi menegaskan BI tidak akan menetapkan level tertentu untuk nilai tukar rupiah. ''Level tidak kita jaga, tapi kita jaga pergerakannya. Kecepatannya,'' ujar dia. Kalaupun kurs berkisar di Rp 9.200, ujar dia, tapi jika terjadi terlalu cepat, itulah yang akan dijaga.

Rupiah yang mulai menguat sekalipun banyak dana asing keluar dari SBI, menurut Hartadi karena tertolong neraca ekspor yang masih positif. ''Suplai valas kan belum tentu dari SBI dan SUN saja. Tapi juga dari perdagangan valas, juga ekspor yang masih masuk,'' kata dia.

Inflasi

Situasi ekonomi yang masih berdinamika di Eropa, aku Hartadi, memang berpeluang memicu imported inflation. Inflasi terimpor ini tidak akan muncul dari nilai tukar mata uang, sebut Hartadi, tetapi bermula dari kenaikan harga komoditas. ''Kalau dari nilai tukar, mungkin sekarang belum, karena (rupiah) belum melemah terlalu besar,'' tegas Hartadi.

Pemulihan ekonomi global diperkirakan akan menyebabkan kenaikan harga komoditas. Kenaikan harga emas dunia saat ini menjadi salah satu contohnya. ''Kenaikan harga komoditas itu yang perlu kita waspadai,'' kata Hartadi.

Jika neraca impor kita membengkak, ujar dia, imported inflation akan terjadi. Apalagi saat ini produk Indonesia masih banyak menggunakan kandungan bahan impor, bahkan untuk bahan mentahnya.

Meski demikian, kata Hartadi, BI belum akan mengubah perkiraan angka inflasi 2010. Kebijakan moneter pun belum akan berubah. ''Masih seperti RDG (rapat dewan Gubernur BI, red) terakhir,'' kata dia.

Hartadi tidak menampik bahwa inflasi Mei 2010 akan lebih tinggi dari bulan-bulan sebelumnya. ''Tekanan Inflasi akan lebih  besar dibanding bulan-bulan sebelumnya. Panen mulai berakhir, harga komoditas juga mulai naik. Tapi seberapa besar belum tahu,'' papar dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement