REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Achsanul Qosasi, mengemukakan, sebanyak 17 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masih mengalami kerugian dan diharapkan jumlahnya menurun tahun ini. Demikian disampaikan Achsanul dalam dilektika demokrasi bertema "Hentikan Politisasi BUMN" di Gedung DPR/MPR Jakarta, Kamis (17/3).
Diskusi juga menghadirkan pembicara Ketua Komisi XI Harry Azhar Azis, anggota Fraksi Partai Hanura Akbar Faizal dan peneliti dari LSI Burhanuddin Muhtadi.
Achsanul mengemukakan, nilai aset seluruh BUMN mencapai Rp2.500 triliun. Sedangkan keuntungannya Rp97 triliun atau empat persen dari total aset. "Setorannya kepada APBN sekitar Rp30 triliun," katanya.
Dia mengatakan, setoran kepada APBN dalam bentuk deviden sebesar itu msih sangat kecil. "Rasanya setoran masih sangat kecil," kata Anggota Fraksi Partai Demokrat itu.
Mengenai BUMN yang merugi, dia menyebutkan bahwa pada 2006 sebanyak 36 BUMN, tinggal 24 BUMN pada 2009 dan pada 2010 tinggal 17 BUMN masih rugi.
"Tetapi ada empat atau lima BUMN yang tak bisa ditolong. Kalau begitu ya sudahlah ditutup saja. Tetapi kalau masih bisa ditolong harus diperbaiki manajemennya agar berkembang," katanya.
Mengenai penyebab BUMN merugi, Achsanul mengemukakan, BUMN masih menggeluti manufaktur dan jasa. "Yang meraih untung umumnya pertambangan dan migas karena bahan bakunya tinggal ambil. Yang rugi adalah BUMN manufaktur dan jasa. Jangankan di luar negeri, di dalam negeri saja BUMN manufaktur dan jasa rugi," katanya.
Menurut dia, kerugian dialami karena BUMN terbebani oleh beban yang semestinya tidak jadi beban mereka. "Adanya beban dari pemerintah sehingga BUMN ini cenderung tidak efisien," katanya.
Dia mengatakan, ada BUMN merugi dan sulit berkembang karena bertarung di lapangan yang sama. Contohnya, BUMN bidang semen. Karena itu, harus jadi holding sekaligus dengan perusahaan pupuk.
Achsanul juga menyoroti besarnya gaji direksi BUMN dibanding kondisi kesehatan perusahaan menjadi salah satu penyebab kerugian. "Ada gaji direksinya yang besar besar sehingga tidak efisien dan terlalu banyak beban," katanya.
Dia berpendapat komisaris dan direksi BUMN sebaiknya orang-orang profesional. "Kalau perlu ditunjuk orang asing. Yang penting profesional," katanya.
Dia juga mengatakan, BUMN terkesan tidak mudah berkembang karena terbelit birokrasi dan ketentuan undang-undang. "Kalau swasta bisa main di manapun, bebas," katanya.
Salah satu belenggu birokrasi dan kepentingan politik yang sangat merugikan BUMN adalah pada PT Texmaco. Perusahaan ini hilang begitu saja dengan 60 ribu karyawannya juga 150 ribu karyawan yang tidak langsung.
Padahal perusahaan ini menghasilkan produk yang sangat dibutuhkan dangat kualitasnya bagus. "Truk saja bisa diproduksi Texmaco. Tetapi perusahaan ini hilang begitu saja, jadi besi tua karena birokrasi dan kepentingan pemerintah waktu itu," katanya.
Achsanul yang pernah menjadi Direktur Keuangan PT Texmaco mengatakan, Sinivasan tidak punya apa-apa. "Sinivasan rumahnya di Kebon Kacang, pakai Volvo tahun 1980 dan tak punya apa-apa," katanya.