REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kanker paru menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi akibat kanker. Berdasarkan data Global Cancer Observatory (Globocan), sebanyak 1,8 juta jiwa di dunia meninggal akibat kanker paru sepanjang 2018. Sementara di Indonesia, 26.095 jiwa terenggut akibat kanker paru pada tahun yang sama.
Dokter spesialis paru dr Sita Laksmi Andarini PhD menjelaskan, secara umum kanker paru terbagi menjadi dua jenis, yaitu kanker paru bukan sel kecil ataunon small cell lung cancer (NSCLC) dan kanker paru sel kecil atau small cell lung cancer (SCLC). Namun, selain itu, ada sejumlah pasien NSCLC yang memiliki mutasi gen anaplastic lyphoma kinase (ALK) atau dikenal dengan kanker paru NSCLC ALK+ (ALK positif).
ALK adalah salah satu mutasi onkogenik yang terjadi pada pasien kanker paru bukan sel kecil atau NSCLC. Pengidapnya mengalami penyebaran sel kanker atau metastasis ke otak.
ALK positif sebagian besar ditemui pada pasien kanker paru stadium lanjut. Umumnya, mereka bukan perokok dan berusia sekitar 45-50 tahun atau lebih muda dari populasi kanker paru pada umumnya.
"Kanker jenis ini cukup langka hanya sekitar 5 sampai 7 persen populasi kanker paru," kata Sita dalam konferensi pers Bulan Peduli Kanker Paru oleh CISC di kawasan Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.
Meski jumlah prevalensi kanker paru ALK positif termasuk langka, namun jenis kanker paru ini tetap harus diwaspadai. Karena kanker paru ALK positif memiliki masa perburukan yang sangat cepat, yaitu hanya sekitar tujuh bulan dengan pengobatan kemoterapi.
Di lain sisi, pengobatan kanker paru ALK positif telah berkembang sangat pesat. Kemajuan teknologi memungkinkan penanganan kanker paru yang efektif.
Salah satunya dibuktikan dari hasil studi yang menunjukkan pengobatan kanker paru Anti ALK dengan Alectinib telah berhasil meningkatkan hasil terapi pada pasien, yaitu dapat memberikan masa bebas perburukan hampir tiga tahun. Selain Alectinib, ada beberapa jenis obat lain untuk pengobatan kanker paru ALK positif, seperti Crizotinib, Ceritinib, Brigatinib, dan Lorlatinib. Akan tetapi, semua jenis obat itu tidak ditanggung BPJS Kesehatan.
"Mungkin karena dianggap jumlah penderitanya sedikit, jadi pemerintah belum meng-cover obat tersebut dengan BPJS. Jadi saya mungkin temen-temen NGO, seperti CISC, bisa bersama-sama mendorong agar pemerintah bisa aware juga pada ALK positif," kata Sita.