REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tiap penyair punya jalan karirnya masing-masing. Begitu pula dengan Mira Achiruddin, penyair kelahiran Palembang, 19 Juni 1965. Anak keenam dari delapan bersaudara itu mulai menulis puisi sejak duduk di bangku SMP (tahun 1970-an akhir). Namun ia baru mulai menampilkan puisi tersebut di hadapan orang lain pada tahun 2009 atau 30 tahun kemudian.
Wanita yang kini mempunyai seorang anak remaja putri itu pada awal kepenyairannya banyak menulis puisi sederhana dan umum. Namun sejak tahun 2007 ia mulai menulis sajak-sajak religi.
“Sejak 2007 sampai saat ini saya hanya menulis puisi-puisi spiritual. Bagi saya, puisi-puisi spiritual itu panggilan jiwa,” kata wanita penyair yang juga pengusaha itu.
Anak keenam dari delapan bersaudara itu menekuni bisnis bersama saudara-saudara kandungnya. Namun kesibukannya dalam mengelola bisnis tidak menyurutkan langkahnya dalam menulis puisi.
Terbukti, dalam waktu sekitar 10 tahun ini ia telah menghasilkan sekitar 300 puisi religi. Sebagian di antaranya sudah diterbitkan dalam buku kumpulan puisi berjudul “Nyanyian Sufi di Lembah Suci” (Penerbit Khazanah Mimbar Plus, 2017).
Mira mengaku belajar menulis sajak secara otodidak. Hal yang menarik adalah, Mira merasa terhubungkan dengan para penyair Islam (penyair sufi), seperti Jalaluddin Rumi (seorang penyair sufi yang lahir di Balkh, sekarang Afganistan, pada 6 Rabiul Awwal tahun 604 Hijriah, atau 30 September 1207 Masehi), Muhammad Iqbal (penyair, politisi dan filsuf besar abad 20), dan Ibnu Atha’illah (penulis kitab “Al-Hikam”, kelahiran Iskandariah (Mesir) pada 648 H/1250 M) , setelah dia menulis puisi religi.
“Saya menulis puisi-puisi religi sejak tahun 2007. Waktu itu saya belum tahu sosok maupun karya-karya Jalaluddin Rumi, Muhammad Iqbal dan Ibnu Atha’illah. Ketika tahun 2011 saya membaca karya-karya Rumi, Iqbal dan Atha’illah, saya merasakan benang merah antara sajak-sajak saya dengan sajak-sajak mereka. Bagi saya, puisi-puisi religi yang saya tulis ternyata menghubungkan saya dengan Iqbal, Rumi dan Ibnu Atha’illah,” tutur Mira.
Mira mengaku bisa menulis sajak di mana dan kapan saja, terutama saat ilham itu datang. Meskipun demikian, sebagai seorang pebisnis yang juga mempunyai jadwal tersendiri, Mira lebih sering menuangkan renungan puisinya pada malam hari. “Dulu saya melihat dunia dengan mata fisik, sekarang saya lebih sering melihat dunia dengan mata batin saya. Itulah yang kemudian melahirkan puisi-puisi religi,” papar Mira Achiruddin.