REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Riset Charta Politica, Yunarto Wijaya mengatakan, kelas menengah mempunyai instrumen baru untuk menyampaikan aspiras politiknya sejak 2008.
Melalui twitter, pembicaraan politik yang biasanya hanya dilakukan sebatas diskusi di cafe atau restoran beralih ke twitter. "Twitter seakan-akan menampung hasrat politik kelas menengah," kata Yunarto di Jakarta, Rabu (2/4).
Hanya saja, pembicaraan netizen tidak dipastikan berbanding lurus dengan elektabilitas capres, caleg, atau parpol. Namun, pengguna sosial media yang kebanyakan berasal dari kaum menengah merupakan pembawa pengaruh sosial.
"Kelas menengah atau kaum urban itu merupakan social influencer," ujarnya.
Keriuhan politik di media sosial, lanjut Yunarto, sebenarnya bisa menggenjot partisipasi pemilih. Terutama pemilih dari kelompok muda berusia 17 hingga 31 tahun. Mereka adalah 38 persen dari total pemilih pemilu 2014.
Menurutnya, arus pembicaraan netizen tersebut bisa mendorong hasrat mereka menyalurkan hak pilihnya langsung ke TPS. Sehingga berdampak terhadap peningkatan partisipasi pemilih.
"Seperti terbukti pada pemilu di Amerika Serikat. Fenomena sosmed ternyata berhasil menaikkan partisipasi pemilih terutama pemilih pemula untuk menggunakan hak pilihnya," kata Yunarto.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J Vermonte mengatakan, peningkatan pembicaraan politik melalui media sosial merupakan investasi masa depan bagi peserta pemilu.
Karena parpol bisa membangun infrastruktur politik di media sosial dengan mengembangkan relawan yang sifatnya organik. Kegiatan seperti itu telah dibuktikan Presiden Amerika Serikat Barrack Obama pada pemilu 2008.