Aparat keamanan melakukan sosialisasi 'Silahkan Memilih Kami Siap Mengamankan Anda' dengan cara berkeliling di daerah rawan intimidasi pemilu Lhokseumawe, Provinsi Aceh, Selasa (8/4). (Antara/Rahmad)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Strategi intimidasi masih saja diterapkan pada kampanye di Indonesia. Hal ini diprediksi terjadi di Aceh dan sejumlah daerah di Indonesia.
Peneliti Institute for Strategy Initiatives (ISI), Luki Jani, menyatakan intimadi dipadukan dengan penggelontoran dana kepada publik. Di Aceh misalkan, dana untuk menyatukan kombatan GAM, dan dana pemulihan pascatsunami, dimanfaatkan untuk meningkatkan elektabilitas Partai Aceh.
Setelah menggelontorkan dana ini, mereka menebar intimidasi. Jika ada yang tidak memilih partai tertentu misalkan, maka akan dibunuh, atau akan diteror. "Ini masih terjadi," jelas Luki, di Jakarta, Rabu (23/4).
Hal ini juga diprediksinya terjadi di Banten. Sebelum pemilukada berlangsung, penggelontoran dana publik terjadi masif. Hal ini dibarengi dengan image jawara yang melekat pada kandidat incumbent. Masyarakat akhirnya tidak berani mengalihkan dukungannya kepada calon kepala daerah lain.
Luki menyatakan semua ini bermuara pada dana Bansos dan dana hibah. Setiap kepala daerah dan menteri memiliki dana ini. "Mekanisme penggunaannya bermasalah," jelas Luki. Dana - dana ini seharusnya dialokasikan khusus di menteri sosial. Hal ini penting, agar penggunaan dana bansos dan hibah sesuai dengan tupoksinya.