Jusuf Kalla (tengah), Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh (kanan) dan anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Ahmad Mubarok mengikuti acara buka bersama di kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta, Rabu (10/7).
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Ahmad Mubarok mengomentari tentang pertanyaan calon wakil presiden nomor urut 2, Jusuf Kalla untuk calon presiden (capres) nomor urut 1, Prabowo Subianto di debat capres tahap satu yang digelar Selasa (10/6) malam kemarin. Menurut dia, pertanyaan JK tentang kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) kepada Prabowo masuk ke dalam politik pencitraan.
"Yang tidak bagus itu Pak JK. Dia bertanya sebuah pertanyaan, padahal dia sendiri sudah tahu jawabannya. Arahnya itu seolah ingin memancing emosi saja. Jadi itu seperti politik pencitraan," ujar Ahmad kepada Republika di Surabaya, Kamis (12/6) malam.
Pada sesi keempat debat tahap satu, JK bertanya bagaimana pasangan Prabowo dan Hatta Rajasa menangani persoalan penegakan HAM dan soal diskriminasi di Indonesia. Saat mendapatkan kesempatan menjawab, Prabowo mengatakan jika JK ingin tahu jawabannya, maka bisa menanyakan atasannya pada waktu itu.
Tanggung jawab atasan Prabowo saat menjabat itu kemudian dipertanyakan. Pasalnya tidak ada yang tahu jelas siapa atasan yang Prabowo maksud. Ada sederet nama jenderal yang menjadi atasannya pada waktu itu, seperti Jenderal Feisal Tanjung, Jenderal Wiranto, Jenderal Subagyo HS, dan Jenderal Fahrul Razi, termasuk juga presiden Soeharto sebagai panglima tertinggi ABRI.
Guru besar Psikologi Islam UIN SYarif Hidayatullah tersebut menilai, pada debat malam itu Prabowo menghadapi pertanyaan JK dengan tenang. Untuk mengetahui kedua capres lebih jauh, Ahmad menantikan debat capres tahap dua yang akan digelar 15 Juni nanti.
Mantan wakil ketua umum Demokrat itu menilai, debat capres tahap satu kemarin terlalu biasa, hanya menggambarkan orientasi masing-masing, dimana Prabowo seorang visioner dan Jokowi yang mengangkat pengalaman-pengalamannya saja sebagai mantan wali kota dan gubernur.
"Dari segi nilai penyampaian, Jokowi lebih rendah dari Prabowo. Dari segi komunikasi, paparan Jokowi lebih mudah dipahami rakyat kecil, sedangkan masyarakat menengah ke atas umumnya akan berpikir bahwa tugas menjadi wali kota dan gubernur itu jauh berbeda dengan tugas seorang presiden," ujarnya.