REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pengamat politik dari Fisip Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Haryadi berpendapat, protes Tim Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dengan cara walk out dan menolak menandatangani berita acara penetapan hasil pilpres provinsi, seperti di DKI Jakarta, Jatim, dan Bangka, hanya didasari kecurigaan bukan mengacu bukti faktual.
"Jadi, basis nalar dari tindakan protes dan rencana menggugat itu adalah sebatas curiga, bukan mengacu bukti faktual perihal pelanggaran," kata Haryadi, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Ahad (20/7).
Hal itu tampaknya akan menjadi dasar argumen menggugat kekalahan Prabowo-Hatta ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut Haryadi, nalar yang dikemukakan seragam, yaitu sebagian besar curiga terhadap pemberian hak pilih yang diperbolehkan dengan bukti KTP dan keterangan domisili dari kelurahan-desa setempat, tanpa pengantar surat model A-5.
Adanya bukti pelanggaran ini penting ditegaskan karena nyaris segala fakta pelanggaran yang riil ada dan dilakukan oleh kubu Prabowo-Hatta maupun kubu Jokowi-JK, sudah di atasi di masing-masing tingkatan, seperti ada pemilih yang mencoblos dua kali di TPS yang berbeda. Solusi yang telah dilakukan dengan pencoblosan ulang di beberapa TPS.
Sehingga, kata Haryadi, ketika verifikasi dan penetapan hasil di level provinsi yang masih juga diprotes serta rencana penetapan hasil secara nasional oleh KPU RI yang kemungkinan akan di demo, maka protes dan rencana demo itu lebih merupakan kecurigaan atau prasangka yang tak berdasar fakta.
Dengan demikian, lanjut Haryadi, jika masih ada para pihak yang mengapresiasi protes atau berencana menggugat hasil pilpres ke MK, maka itu sama artinya dengan mengapresiasi prasangka politik yang tak mendasar.
"Patut pula dipersangkakan, bahwa prasangka politik itu merupakan instrumen politik untuk mengurangi 'rasa malu' akibat kekalahan kontestasi Pilpres 2014. Pilihan langkah yang salah, tapi bisa dimengerti," ujarnya.