REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dikotomi capres Jawa dan non-Jawa dianggap berbahaya. Karena merupakan pola sesat yang berpotensi mengancam keutuhan NKRI. Padahal, Indonesia dibangun atas dasar kemajemukan.
"Kalau masih ada yang berpikir Jawa dan non-Jawa, itu sangat berbahaya dan bisa memicu disintegrasi," ujar pengamat politik John Palinggi, Kamis (13/2).
Saat ini, katanya, dikotomi Jawa dan luar Jawa sudah tidak relevan. Karena sebagian besar masyarakat lebih banyak melihat bukti nyata dari pada sekadar asal-usul capres.
"Saya kira, pemikiran seperti itu bisa mencederai bhineka tunggal ika, rasa satu nusa satu bangsa dan persatuan nasional," tambahnya.
Karenanya, isu kesukuan, agama atau etnis tidak boleh berkembang di Indonesia. Karena bertentangan dengan prinsip UU Pemilu. "Saya kira, demi keseimbangan politik maka perlu kombinasi antara Jawa dan luar Jawa. Jawa bisa sebagai capres dan luar Jawa sebagai cawapres. Atau pun sebaliknya," ujarnya.
Apalagi saat ini masyarakat sudah melihat faktor lain sebagai pertimbangan pilihan. Misalnya, kredibilitas dan kapabilitas capres sesuai rekam jejak yang dimiliki. Selain itu, kejujuran serta keberpihakan terhadap rakyat juga jadi faktor penting.
"Saya melihat, isu Jawa dan non-Jawa hanya strategi kampanye meraih suara. Hal ini sangat beralasan mengingat jumlah pemilih di Jawa sangat besar. Tetapi kalau isu ini menjadi basis persaingan, saya kira, sangat berbahaya," katanya.
Menurutnya, seorang calon pemimpin Indonesia harus memiliki komitmen yang tinggi terhadap keutuhan NKRI. Lalu harus memiliki kemampuan manajerial yang dapat membawa kesejahteraan rakyat. Artinya, aspek penting yang menjadi pekerjaan terberat capres adalah persoalan ekonomi. Terutama, kemampuannya mendatangkan investasi sebanyak mungkin ke Indonesia. Sebab, dengan peningkatan investasi maka tercipta lapangan kerja.
"Capres itu harus punya sikap yang jelas terhadap pemberantasan korupsi dan menghancurkannya secara total. Apalagi, rakyat sudah muak dengan perilaku catat etika dan korupsi sejumlah kader parpol," imbuhnya.
Dia mengaku, sudah mengantongi rekam jejak sejumlah kandidat capres. Namun, dia enggan menyebutkan siapa tokoh yang paling tepat memimpin Indonesia kedepan. Namun, dia mengomentari mengenai peluang Ketua Umum DPP PAN, Hatta Rajasa.
"Saya kira, figur Pak Hatta sangat baik. Dia teruji mengelola ekonomi Indonesia sehingga on the track. Tetapi, saya tidak mau terlalu jauh menilai figur pak Hatta ini karena masa transisi masih dalam proses," tegasnya.