REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jokowi menyebut inisial pendampingnya, J dan A. Nama yang marak beredar dipublik, J merepresentasikan mantan wapres Jusuf Kalla (JK) dan Abraham Samad (AS) yang kini jadi ketua KPK. Masing - masing memiliki kelebihan dan kekurangan.
Ketua dewan pengawas Lembaga Penelitian Pendidikan Penerapan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Rustam Ibrahim, menyatakan JK memiliki tiga kekurangan. Dia kerap melakukan nepotisme dengan membangun SDM di pemerintahan dari orang - orang dekatnya.
Dia juga memiliki kepentingan bisnis yang kuat, mengingat latarbelakangnya sebagai pengusaha. "Jangan sampai proyek - proyek pemerintah dimainkannya," jelas Rustam, saat dihubungi, Ahad (18/5).
Selain itu, JK dikenal lebih banyak bicara sebagai wapres. "Proporsinya, lebih banyak dia yang bicara ketimbang presiden. Ini dilakukannya dulu ketika mendampingi SBY," jelas Rustam. Gaya ini disarankannya untuk dihilangkan. Namanya wapres, tentu tidak elok jika lebih banyak bicara. Terlepas dari tiga hal itu, JK berkemampuan melakukan komunikasi politik dengan politisi lintas parpol.
Sementara Abraham Samad, dinilainya sangat mungkin melengkapi kekurangan Jokowi dalam hal penegakkan hukum. Posisinya yang berada di kalangan muda menjadi poin plus. "Ini menarik. Dia sepantaran dengan Jokowi," jelas mantan direktur LP3ES ini.
Ditambah lagi dengan rekam jejaknya dalam pemberantasan korupsi tidak diragukan lagi. Samad dapat membangun pemerintahan yang bersih dari korupsi. Dia akan membawa semangat KPK dalam pemerintahan yang selama ini disoroti KPK. Namun demikian, Samad dinilainya masih harus memaksimalkan pengalamannya dalam politik dan pemerintahan. Dua hal itu diyakininya dapat dipelajari dengan baik.
Dia menyatakan Jokowi harus pertimbangkan cawapresnya dengan melihat aspek dan kriteria yang betul-betul baru dan berbeda. Pasangan muda dan menjanjikan perubahan adalah aspek distingtif dari Jokowi dan pasangannya.