Home >> >>
KPU Konsultasi Ke MK Soal Pengabaian Sebaran Suara Provinsi
Ahad , 08 Jun 2014, 14:23 WIB
Hadar Navis Gumay

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum memutuskan penentuan pemenag pemilu presiden hanya berdasarkan perolehan suara nasional dan mengabaikan sebaran suara provinsi. Direncanakan, Rabu (11/6) pekan depan KPU akan berkonsultasi dengan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk penafsirkan aturan konstitusi tentang penentuan presiden dan wakil presiden terpilih.

Menurut Pasal 6A UUD 1945 disebutkan pasangan capres dan cawapres yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilih umum dengan sedikitnya 20 persen di setiap provinsi.Yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

Regulasi soal sebaarn suara di provinsi juga tertuang dalam UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Pasal 159 ayat 1 disbeutkan bahwa pasangan calon terpilih mesti memperoleh suara lebih dari 50 persen dan harus memperoleh sedikitnya 20 persen suara di setidaknya separuh dari total provinsi di Indonesia.

Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay mengatakan, kedua aturan tersebut dibuat dengan pertimbangan pilpres diikuti oleh lebih dari dua pasangan calon. Dan untuk menentukan pemenang, jika syarat tidak terpenuhi pada putaran pertama dilakukan pemilu putaran kedua.

"Karena ini cuma dua pasangan calon, ini kan multitafsir akhirnya pendapatnya ada beda. Jadi kami kira KPU harus memastikand engan cara diskusi dengan para ahli Rabu nanti dan akan menulis surat kepada MK untuk meminta tafsir MK tentang pasal konstitusi itu," kata Hadar, di Golden Boutiqe Hotel, Jakarta, Ahad (8/6).

Hadar mengakui, konstitusi memang mengatur untuk menentukan calon terpilih syarat suara nasional dan sebaran harus dipenuhi. Hanya saja, kondisi pilpres ketika hanya diikuti dua pasangan calon tidak diatur dalam konstitusi.

Untuk menghilangkan kontroversi, menurutnya bisa saja dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Namun KPU menilai saat ini belum diperlukan Perppu karena masih bisa didiskusikan dengan ahli pembuat konstitusi serta tim kedua pasangan calon.

Belum diputuskannya metode penentuan pasangan calon terpilih ini juga mempengaruhi kepastian anggaran pilpres. Sekretaris Jenderal KPU Arif Rahman Hakim mengatakan, belum diputuskan apakah anggaran pilpres putaran kedua akan dikembalikan kepada Kementerian Keuangan.

"Kami masih menunggu keputusan tentang aturan penentuan presiden dan wakil presiden terpilih. Kalau memang hanya satu putaran, sekitar Rp 3.92 triliun yang sudah dianggarkan untuk putaran kedua akan dikembalikan ke Kemenkeu," kata Arif.

Menurut Arif, anggaran pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden mencapai Rp 16 triliun.  Untuk pilpres, dialokasikan anggaran Rp 7.9 triliun. 

"Alokasi dalam pagu maksimum yang tersedia untuk penyelenggaraan pemilu presiden putaran pertama senilai Rp 4.01 triliun. Sementara untuk pelaksanaan pemilu presiden putaran kedua dialokasikan dana sebesar Rp 3.92 triliun," jelas Arif.

Jika diputuskan penentuan pemenang pilpres berdasarkan suara nasional dan sebaran suara provinsi, pilpres putaran kedua masih dimungkinkan. Dengan begitu, anggaran Rp 3.92 triliun tidak dikembalikan dahulu ke Kemenkeu.

Redaktur : Muhammad Hafil
Reporter : ira sasmita
  Isi Komentar Anda
Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi republika.co.id. Redaksi berhak mengubah atau menghapus kata-kata yang tidak etis, kasar, berbau fitnah dan pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan. Setiap komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.

Republika.co.id berhak untuk memberi peringatan dan atau menutup akses bagi pembaca yang melanggar ketentuan ini.
avatar
Login sebagai:
Komentar