Dari balik bangku perkuliahan, para mahasiswa tidak hanya terlahir sebagai insan yang cerdas secara intelektual, tapi juga insan yang peka dan kritis terhadap aneka masalah di sekitarnya. Kedekatan mahasiswa dengan masyarakat, menjadi pendorong yang membuat para mahasiswa akan langsung bereaksi ketika terjadi hal yang dirasa tidak sesuai dalam kehidupan sosial masyarakat.
Masih santer terdengar, “suara mahasiswa adalah suara masyarakat”. Para mahasiswa menjadi pihak yang patut diperhitungkan aspirasinya. Melalui salah satu cara, demonstrasi, mahasiswa mengungkapkan kritik sosial mereka. Namun, ketika aspirasi ini berujung pada kekerasan, hingga bentrok dengan aparat kepolisian, siapa yang patut disalahkan?
BBM bersubsidi tak tepat sasaran, karena malah dinikmati mobil-mobil “mewah”, banyaknya pemerintah yang lebih mementingkan kemakmuran pribadi ketimbang rakyat, ditambah jaminan kesejahteraan masyarakat kecil yang masih menjadi angan-angan. Hal tersebut tentu saja menyulut protes dari masyarakat pada umumnya dan para mahasiswa pada khususnya.
Lihat saja korupsi yang sampai sekarang masih terjadi di berbagai lini. Untungnya, di tengah kasus korupsi yang makin bermunculan, ada titik cerah dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui salah satu programnya yaitu Beasiswa Unggulan, sebagai wujud bantuan pendidikan dan mendorong lahirnya Sumber Daya Manusia Indonesia yang unggul dan berdaya saing. Pendidikan yang memadai akan mendorong kemajuan negara.
Kembali ke demonstrasi mahasiswa tentang kenaikan harga BBM bersubsidi. Jika saja pemerintah siap dan mampu berdialog dengan pihak mahasiswa, kekerasan di lapangan dapat dihindari. Tertutupnya jalur komunikasi dua arah antara mahasiswa dan pemerintah yang terlibat dalam rencana kenaikan harga BBM ini, membuat mahasiswa seakan berdiri sendiri tanpa digubris aspirasinya secara langsung. Pemerintah beserta Presiden dan mahasiswa bersama-sama duduk setara dan berdialog untuk memecahkan masalah kenaikan harga BBM yang semakin pelik ini. Hanya saja, pihak-pihak tersebut dapat menjamin dialog tidak akan berujung pada “debat kusir”.
Zulfasari
Mahasiswa Program Studi Prancis Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.