Peristiwa hijrah mengisyaratkan, bahwa dalam menghadapi hidup dengan segala tantangan dan cobaannya, manusia dituntut membekali diri; Salah satunya dengan rasa optimis dan kepercayaan diri yang tinggi, sehingga selalu ada kemajuan di setiap waktu.
Hijrah dalam Islam umumnya dipahami sebagai migrasi Nabi Muhammad Saw dan para Sahabat dari Makkah ke Madinah pada 622 M, meski peristiwa hijrah lain telah terjadi sebelumnya. Nabi Saw pernah hijrah ke Tha’if dan mengajak penduduknya tapi kemudian Nabi Saw hanya mendapat lemparan batu, sehingga beliau kembali ke Makkah.
Pada 615 M, Nabi Saw. juga pernah hijrah ke Habasyah (Ethiopia) bersama 16 pengikutnya, laki-laki dan perempuan. Hijrah yang terakhir ini bahkan disusul oleh banyak Sahabat termasuk ‘Utsman b. 'Affan, Ja‘far b. Abi Thalib, ‘Abd Allah b. Mas‘ud dan lainnya.
Rombongan Nabi Saw di Habasyah ini kemudian kembali ke Makkah setelah mendengar ‘Umar b. al-Khaththab masuk Islam. Harapannya, bahwa dengan Islam-nya ‘Umar akan menghilangkan penderitaan fisik yang sebenarnya menjadi alasan utama mereka hijrah ke Habasyah. Tetapi, penderitaan fisik ini tidak berakhir, sehingga hijrah ke Habasyah kembali terjadi pada 616 M dengan rombongan yang lebih besar.
Banyak yang menilai, hijrah ke Thaif dan Habasyah terjadi untuk menghindari penderitaan fisik yang menimpa mereka di Makkah. Tidak lebih dari itu. Namun, hijrah ke Madinah juga dalam rangka mempertahankan keyakinan.
Hijrah Nabi Saw dan para Sahabat ke Madinah merupakan wujud konsistensi pada keyakinan yang dinilai sebagai kebenaran. Konsistensi itu tentu teruji dan terukur dalam keadaan pahit, paceklik dan krisis, bukan pada saat senang dan sukses. Selain itu, hijrah ke Madinah juga berarti memproklamasikan perlawanan serta pengembangan masyarakat Islam sebagai sebuah entitas sosial dan politik. Itulah kemudian, peristiwa penting ini kemudian dijadikan sebagai titik tolak penanggalan Hijriyah oleh ‘Umar Ra., bukan peristiwa hijrah ke Tha’if dan Habasyah, bukan pula peristiwa lahir dan wafatnya Nabi Muhammad Saw.
Hijrah tidak hanya meninggalkan suatu tempat ke tempat lain tanpa rencana yang matang. Selain petunjuk Allah dalam menetapkan Madinah sebagai tujuan hijrah, sebagaimana yang dituturkan Ibn Hisyam dalam Sirah Nabawiyah dan al-Buthi dalam Fiqh al-Sirah (1977), Madinah yang waktu itu bernama Yatsrib memang telah siap menerima Rasulullah Saw dan ajarannya.
Rasulullah Saw juga menggunakan strategi khusus dalam menentukan jalur perjalanannya ke Madinah. Beliau menempuh rute memutar yang lebih jauh, yaitu rute Selatan, padahal Madinah ada di Utara Makkah. Ini dilakukan untuk mengecoh kaum Quraisy Makkah yang mengejarnya.
Dengan demikian, ada semacam optimisme keberhasilan serta strategi dalam melakukan hijrah. Optimisme itu bahkan harus dimulai dengan niat yang benar sejak awal. Inilah yang disinggung Nabi Saw dalam salah satu Hadis yang sangat populer tentang hijrah. Dalam Hadis itu ditegaskan bahwa segala perbuatan tergantung pada niat, siapa saja yang niat hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya, maka pasti demikian. Begitu pula jika niatnya untuk masalah lain, maka hanya itu saja yang akan mereka peroleh.
Optimisme itu juga terbentuk melalui rangkaian isyarat Allah dalam Alquran. Ulama sering menyebut-nyebut QS. al-Qashash [28]: 85 sebagai ayat yang membangun kepercayaan diri Nabi Saw sebelum hijrah. Dalam ayat itu dikatakan, bahwa Allah akan mengembalikan Nabi Saw ke tempat asalnya yaitu Makkah, bumi pertiwi yang sangat Beliau cintai.
Selain itu, peristiwa kemenangan bangsa Romawi atas Persia yang diabadikan Alquran dalam QS. ar-Rum [30] membakar semangat Nabi Saw berhijrah. Seperti diketahui, kaum Quraisy Makkah berpihak pada Persia yang sangat kuat. Sementara, Nabi Saw dan pengikutnya bersimpati pada Romawi yang dalam keadaan lemah setelah sebelumnya dihancurkan oleh Persia. Ini menunjukkan kekuatan kuda hitam dapat saja mengalahkan dominasi kekuatan besar.
Inilah yang terjadi kemudian. Persiapan yang matang selama di Madinah kemudian berakhir dengan kemenangan Fath Makkah (penaklukan Makkah). Boleh jadi, persiapan inilah yang disinggung Allah dalam QS. al-Muzzammil [73]: 10 “bersabarlah atas ucapan mereka, dan tinggalkanlah mereka dengan cara/strategi yang baik.”
QS. an-Nisa’ [4]: 97 juga menyinggung umat Islam yang tidak ikut hijrah bersama Nabi Saw padahal mereka mampu. Dalam ayat itu, kematian mereka diandaikan dengan keadaan yang menzalimi diri mereka sendiri, dan mereka akan ditempatkan di neraka jahannam. Dalam ayat itu, ada dialog: mengapa mereka tidak ikut hijrah. Mereka menjawab, "kami teraniaya di bumi (Makkah)". Para malaikat kemudian mengingatkan, “bukankah bumi Allah ini luas, maka berhijrahlah".
Ayat tersebut juga kadang dipahami sebagai ayat yang memerintahkan manusia untuk mencari karunia Allah di bumi. Jika ia gagal di suatu tempat, pasti ada satu tempat di bumi Allah yang sangat luas ini yang akan menjadi tempat kesuksesan. Ayat ini dinilai sebagai dasar bagi tradisi perantauan bagi umat Islam di seluruh dunia. Yang terakhir inilah yang pernah disinggung oleh Ismail Raji al-Faruqi (The Hijrah: the Necessity of Its Iqamat or Vergegenwartigung 1983) ketika mengaitkan peristiwa hijrah dengan diaspora umat Islam di Amerika dan Eropa.
Semua peristiwa hijrah ini mengacu pada migrasi fisik manusia, dari suatu tempat ke tempat lain. Namun, apakah makna hijrah hanya terbatas pada migrasi fisik? Alquran yang menggunakan kata hijrah dan segala derivasinya sebanyak 41 kali, ternyata juga menjelaskan makna lain.
QS. al-‘Ankabut [29]: 26, misalnya, menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim as yang akan berhijrah ke Allah (inni muhajir ila Allah). Istilah ini misalnya digunakan untuk pisah ranjang (QS. an-Nisa’ [4]: 34), Alquran yang dilupakan (QS. al-Furqân [25]: 30), menghindari dosa (QS. al-Mudatstsir [74]: 5), dan sebagainya. Karenanya, dalam hijrah ada makna perubahan dari kemungkaran menuju kebaikan, dari hal-hal duniawi menuju kesalehan. Inilah visi transformatif hijrah.
Peristiwa hijrah mengisyaratkan, bahwa dalam menghadapi hidup dengan segala tantangan dan cobaannya, manusia dituntut membekali diri; Salah satunya dengan rasa optimisme dan kepercayaan diri yang tinggi, sehingga selalu ada kemajuan di setiap waktu.
Rasulullah Saw mengingatkan sambil menganjurkan agar hari ini selalu lebih baik dari kemarin. Namun harus disadari, selalu ada tantangan dan cobaan dalam kehidupan ini. Mungkin karena itulah, beberapa ulama menganjurkan agar kita mengamalkan salah satu dari sekian banyak doa Muharram yang dibaca tiga kali sehari selama bulan Muharram di awal tahun baru Hijriyah ini: “Ya Allah, saya memohon kebaikan tahun baru ini; Kebaikan yang ada di dalamnya, kebaikan yang muncul melalui tahun ini, dan kebaikan yang tercipta untuk tahun ini. Saya juga berlindung kepada-Mu Ya Allah dari segala kejahatan tahun baru ini; Kejahatan yang ada di dalamnya, kejahatan yang muncul melalui tahun ini, dan dari kejahatan yang tercipta untuk tahun ini. Jadikanlah tahun ini tahun yang paling berkah di setiap saat, amin.”
Faried F. Saenong
Peneliti the Nusa Institute
Endeavour Int. (EIPRS) PhD Fellow ¦ Dept. of Anthropology, CAP the Australian National University (ANU) Canberra ¦ Coombs Building #7231 Fellow Road, Canberra ACT 0200 Australia