REPUBLIKA.CO.ID, Konflik yang terjadi Papua bagaikan benang kusut yang sulit untuk dicari ujungnya. Dari orde baru hingga era reformasi konflik di Papua tidak juga kunjung usai. Banyak usaha yang telah dilakukan pemerintah dalam mengatasi konflik di papua.
Hasil evaluasi pendekatan militer ternyata tidak efektif dalam mengatasi konflik di papua, maka pemerintah mulai melakukan pendekatan sosial. Pemerintah mulai menciptakan kondisi yang bersahabat antara militer dengan masyarakat papua. Hal ini dibuktikan dengan banyak program-program pelayanan sosial yang dilakukan oleh militer untuk masyarakat papua, seperti program pelatihan kemandirian, pembuatan jalan raya, hingga menciptakan hubungan yang harmonis dengan tokoh-tokoh masyarakat papua.
Dan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menegaskan pemerintah tetap memilih pendekatan kesejahteraan dan ekonomi pascapenembakan yang menewaskan 12 orang dan 4 orang luka-luka baru-baru ini, dan Presiden SBY menegaskan tidak ada perubahan pendekatan. Tetapi, apabila ada pihak-pihak yang menggangu keamanan masyarakat dan mengingkari kedaulatan NKRI di Papua, harus disikapi tegas dan jelas.
Presiden SBY menginstruksikan pengawasan ketat pada program pemerintah di daerah yang rawan konflik. Program pemerintah yang tidak berjalan baik, jelas Presiden, bisa menimbulkan konflik bahkan menimbulkan permasalahan baru di daerah-daerah tersebut. Namun, semua usaha pemerintah tersebut tidak terpublikasikan dengan baik, yang diketahui oleh rakyat Indonesia kebanyakan adalah tentang pemberitaan Papua yang melulu perang antarsuku, hujan anak panah, aksi penembakan oleh orang tak dikenal, pembakaran, benturan fisik antara masyarakat dan aparat hingga aksi separatisme.
Seperti yang pernah ditegaskan oleh Karl Marx dulu, bahwa konflik merupakan kenyataan masyarakat sosial. Menurutnya, konflik sosial adalah pertentangan antara segmen-segmen masyarakat untuk memperoleh aset-aset yang bernilai. Maka kita pun memahami konflik sosial masyarakat yang terjadi di Papua adalah bentuk akumulasi dari kepentingan masyarakat untuk memperoleh hak-haknya yang oleh Marx disebut sebagai aset-aset yang bernilai yang bukan hanya belum terpenuhi tetapi dirampas secara tidak adil dan dengan upaya paksa.
Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula (Wikipedia).
Konflik kepentingan
Mengutip teori Karl Max , konflik sosial adalah pertentangan antara segmen-segmen masyarakat untuk memperoleh aset-aset yang bernilai. Hal ini sangat mungkin terjadi di Papua. Pasti ada pihak-pihak tertentu yang bermain di Papua, yang menginginkan Papua untuk terus membara.
Semua orang tahu bahwa Papua memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah, tambang-tambang emas yang sangat banyak, dan bahkan kekayaan yang jika saja dikelola secara baik dan benar akan mensejahterakan masyarakat Papua itu sendiri. Tapi kondisi ini justru bertolak belakang. Seperti kata pepatah, bagai ayam yang kelaparan di lumbung padi, begitulah potret masyarakat Papua. Kesenjangan sosial yang terjadi di Papua ini dimamfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk dijadikan pembenaran atas semua tindakan kekerasan yang terjadi di Papua.
Namun aneh rasanya jika Papua masih tertinggal dari segi perekonomian karena pemerintah telah melakukan otonomi khusus untuk Papua dan merealisasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk mensejahterakan masyarakat Papua. Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (Lembaran Negara Tahun 2001 No. 135 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4151) yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008 (LN Tahun 2008 No. 57 dan TLN No. 4843). UU 21/2001 yang terdiri dari 79 pasal ini mengatur kewenangan-kewenangan Provinsi Papua dalam menjalankan Otonomi Khusus. Selain hal-hal yang diatur secara khusus dalam UU ini, Provinsi Papua masih tetap menggunakan UU tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku secara umum bagi seluruh daerah di Indonesia (Wikipedia).
Penulis menilai konflik di Papua bukan semata karena kesenjangan sosial yang terjadi disana. Bisa saja ada kepentingan pihak tertentu yang juga bisa menjadi pemicu konflik di Papua. Konflik sengaja diciptakan untuk menciptakan suasana yang tidak aman, yang bisa saja dimamfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan keuntungan, seperti untuk menjalankan bisnis-bisnis ilegal. Hal ini dibuktikan dengan diungkapnya beberapa kasus penyelundupan di Papau oleh aparat berwajib.
Selain ini kepentingan politik bisa juga menjadi alasan semua tindakan kekerasan yang terjadi di Papua. Ada oknum yang diuntungkan dengan adanya konflik-konflik yang terjadi di Papua. Karena eksistensinya baru ada jika terjadi konflik bersenjata di Papua.
Terlepas apapun itu, peran kita bersama diperlukan untuk menjaga kedaulatan NKRI ini. Intelijen harus bergerak lebih cermat, setiap tindakan yang mengancam NKRI harus ditindak tegas.
Penulis: Dodi Iswanto
Mahasiswa Pascasarjana UPI Bandung
Penerima Beasiswa Eka Tjipta Foundation (ETF)