REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Parni Hadi (Dewan Pembina Dompet Dhuafa)
Masjid sebagai tempat sholat, berdzikir dan mengaji semua orang sudah mafhum. Lingkungan masjid sebagai pusat kegiatan ekonomi rakyat, lumayan banyak. Masjid menyediakan tempat layanan kesehatan untuk kaum miskin, sudah ada, tapi masih jarang. Masjid sebagai tempat pendidikan ketrampilan untuk bekal hidup (life skills) idem ditto.
Lalu apa yang saya maksud dengan masjid sebagai “Center of Excellence” atau pusat keunggulan? Yakni, masjid sebagai pusat pergerakan ekonomi rakyat berbadasar syariah, pusat pelayanan kesehatan gratis atau murah (dengan subsidi silang) dan pusat diklat untuk ilmu dan ketrampilan untuk hidup seperti bahasa-bahasa asing, di samping Arab, komputer dan kewirausahaan (entrepneurship). Di samping itu, masjid sebagai pusat pengembangan budaya nilai-nilai luhur yang diamalkan langsung, misalnya melalui kegiatan relawan dan Pramuka berpangkalan masjid.
Saya ini bukan ustadz. Berbekal sejumlah ayat yang saya ketahui dan coba amalkan sesusai kemampuan dan pengalaman menjadi “orang tua” bagi teman-teman dan adik-adik pengurus Dompet Dhuafa selama 20 tahun, sejak beberapa bulan lalu saya memberanikan diri mengusulkan gerakan menjadikan masjid sebagai pusat keunggulan.
Semula adalah Pimpinan Dewan Masjid Jaktim (Jakarta Timur) yang mengundang saya ceramah tentang itu sekitar dua bulan lalu. Kemudian, di Masjid Jami Al Mujahidin, Cakung, Jaktim dalam ceramah dan diskusi bakda sholat Subuh akhir tahun lalu. Dan, terakhir Ahad, 5 Januari, 2014, dalam “cerpen” (ceramah pendek) bersama sekitar 200 anggota jamaah Wasilah Subuh di Masjid Al Khairat, Halim Perdana Kusumah, Jaktim juga.
Alhamdulillah, dalam kesempatan yang terakhir itu, sejumlah kenalan dan teman lama hadir. Antara lain, mantan Wagub DKI Museno, Komjen Pol Anton Bachrul Alam, Irsum Polri, Mayjen TNI Arif Rahman, Dan Seskoad, Marsma TNI Sogiyarto, aktivis Pramuka. Mereka diundang oleh Ketua Umum Wadah Silaturahmi Subuh, KH Abdul Malik.
Topik aselinya berjudul “Memberdayakan Masyarakat Berbasis Masjid”. Berkat tanya jawab dan usulan dari para jamaah, makin lengkaplah bahan presentasi itu, alhamdulillah. Rupanya gayung bersambut.
Potensi besar
Mengapa muncul usul itu? Pertama, masjid adalah pusat orang berkumpul untuk sholat dan melakukan ritual ibadah Islam lainnya. Kumpulan orang mengandung potensi besar. Apalagi, kumpulan banyak orang dengan niat baik untuk menyembah Allah, masing-masing dalam keadaan suci badannya, rapi dan bersih pakaiannya dan insya Allah demikian pula bathinnya. Potensi mereka untuk digerakkan demi kebaikan, baik tenaga, pikiran, keahlian, waktu maupun harta kekayaannya besar.
Bagi pengusaha, kumpulan orang itu berarti kumpulan uang, minimal masih dalam bentuk potensi. Mengapa tidak kita gerakkan uang atau yang masih dalam bentuk potensi itu menjadi kenyataan? Umat Islam diwajibkan membayar zakat. Kewajiban berzakat itu tercantum dalam hampir 30 ayat Alquran secara berurutan: setelah mendirikan sholat, lalu menunaikan zakat. Masjid adalah tempat terbaik untuk membayar zakat.
Orang berkumpul mungkin lapar dan haus. Ini membuka kesempatan usaha kuliner. Orang sholat perlu pakaian, wangi-wangian dan perlengkapan beribadah yang sebaik mungkin. Ini membuka lapangan usaha juga. Orang berkumpul perlu peralatan rumah tangga, motor, mobil dan jasa-jasa lainnhya. Hal itu sudah nampak terutama pada hari Jumat , yakni munculnya pasar “kaget” di lingkungan masjid.
Sebagian potensi ekonomi memang masjid sudah dimanfaatkan, tapi belum optimal. Kita bisa mencontoh lingkungan sekiitar Majidil Haram di Mekah telah menjadi pusat perekonomian yang ramai. Mulai dari berbagai restoran, toko perhiasan dan pakaian sampai hotel-hotel pencakar langit tumbuh menjamur di sana. Demikian pula dengan wilayah sekitar Masjid Nabawi, di Medinah. Tentu status sosial ekonomi jamaah haji dan umrah menentukan makanan dan layanan apa yang mereka perlukan.
Untuk jamaah masjid Indonesia, tentu status sosialnya bervariasi. Para pengusaha sudah tahu itu dan piawai untuk menyesuaikan diri. Kalau mau menyasar kaum muslim yang kaya, tentu bisa saja dibangun kompleks perumahan elit berlogo islami dengan masjid sebagai pusatnya. Tapi, yang saya maksud pemberdayaan masyarakat berbasis masjid, tentu sasaran utamanya bukan kaum kaya, melainkan kaum dhuafa. Karena itu, zakat dari para muzaki (yang wajib bayar zakat), infaq dan sedekah dari para jemaah yang dermawan, jika dikelola dengan baik dan benar sesuai syariah, bisa menjadi mesin penggerak pemberdayaan untuk kaum dhuafa (mustahik).
Mesjid dan jamaah yang saya maksudkan adalah di daerah pemukiman, bukan di kantor-kantor. Penduduk sekitar masjid dan pedangang sekitar masjid, yang menjadi jamaah, adalah sasaran pemberdayaan ini. Yang kaya dan ahli menjadi penolong dan yang miskin menjadi penerima manfaat.
Menurut catatan, di Indonesia terdapat sekitar satu juta masjid, tiga ribu lebih di antarnya di DKI Jakarta. Jumlah musholla lebih banyak lagi. Jika rata-rata sumbangan per holat Jumat per masjid berjumlah Rp. 1 juta, maka terkumpullah Rp 1 trilyun setiap minggu atau Rp 52 trilyun per tahun. Jika ditambah zakat yang wajib, tentu lebih besar lagi dana yang terkumpul.
Badan hukum masjid
Dengan dana itu, penduduk miskin dan pedagang kecil yang tinggal, mencari kehidupan di sekitar dan menjadi jamaah masjid bisa dibina agar terbebas dari kemiskinan dan menjadi lebih berdaya. Kaum dhuafa bisa diajak untuk mendirikan usaha kecil, setelah mendapatkan pelatihan dan bimbingan plus bantuan modal. Mereka bisa mendirikan usaha bersama, seperti koperasi dan atau BMT (Baitu Maal wa Tamwil) atas nama jamaah masjid.
Untuk itu ada persoalan yang harus diselesaikan dulu, yakni kebanyakan masjid di Indonesia belum berbadan hukum yayasan atau perhimpunan sesuai ketentuan perundangan. Akibatnya, badan usaha yang didirikan oleh dan atas nama masjid tidak punya akses ke sumber dana dari perbankan. Jamaah mesjid pada umumnya juga tidak terdaftar sebagai anggota. Oleh karena itu, perlu ada data base dari jamaah masjid, mulai dari usia, jenis kelamin, status keluarga, profesi, status sosial dan status sosial ekonominya. Pendataan ini bisa melibatkan remaja masjid setelah mendapat pelatihan seperlunya.
Sebelum itu semua, yang perlu dilatih pertama kali adalah para pengurus masjid tentang manajemen, mulai dari tata buku yang sederhana sampai mengelola dan mengembangkan potensi dan aset masjid.
Pusat kesehatan dan diklat
Orang yang miskin secara ekonomi dapat dipastikan miskin dalam bidang kesehatan, akibat asupan gizi yang kurang dan tidak punya cukup uang untuk memelihara kesehatan. Oleh karena itu bersamaan dengan pemberdayaan di bidang ekonomi, pemberdayaan di bidang kesehatan sangat perlu. Ini dapat dilakukan dengan mendirikan pusat layanan kesehatan di bangunan sekitar masjid untuk memberi penyuluhan dan pelayanan cuma-cuma atau dengan biaya minim, jika belum ada Puskesmas terdekat.
Kalau keadaan belum memungkinkan, untuk sementara bisa didirikan sekedar poskesling (pos kesehatan keliliing). Tenaga medis bisa berasal dari di antara jamaah yang berprofesi di bidang medis (dokter, bidan dan perawat), obat tentu bisa diperoleh dari donasi jemaah yang kaya, urunan atau bantuan dari pihak luar.
Orang yang miskin secara kesehatan akan miskin secara pendidikan, akibat kesehatan yang rapuh dan tidak punya biaya untuk sekolah dan membeli buku dan perlengkapan belajar lainnya. Karena itu, masjid sebagai tempat berkumpul dan atau kumpulan jamaah dengan berbagai profesi dan potensi, bisa digerakkan untuk mendirikan sekolah atau tempat kursus ketrampilan. Guru atau pelatihnya, kalau bisa dari kalangan jamaah sendiri dan atau tenaga profesional, baik sukarelawan maupun yang menerima bayaran.
Yang diajarkan, bukan hanya mengaji Alquran dan Hadits, yang umumnya sudah diselenggarakan, tapi ilmu ketrampilan untuk hidup. Keahlian memasak, menjahit , salon dan ketrampilan lainnya sering lebih diperlukan membuka usaha sendiri atau bekerja untuk orang lain. Pendirian pusat gerakan ekonomi rakyat, pusat layanan kesehatan dan diklat ketrampilan untuk hidup dengan sistem gotong royong antarjamaah akan menguatkan akidah, silaturahmi dan sekaligus memberdayakan siapa saja yang memerlukan.
Alangkah bagusnya, jika ada jemaah ditanya mau cari modal, berobat dan belajar komputer dan bahasa Cina, misalnya, secara mudah, berkwalitas dan murah (atau gratis), jawabnya singkat: ke masjid!
Secara bertahap lembaga ekonomi, pelayananan kesehatan dan pendidikan di lingkungan masjid itu tentu bisa terus dikembangkan, sehingga masjid sebagai “center of excellence” bukanlah mustahil.