Ahad 05 Jan 2014 20:05 WIB

Menjadikan Masjid Sebagai 'Center of Excelence'

Parni Hadi, Ketua Dewan Pembina Dompet Dhuafa
Foto: Agung Sasongko/ROL
Parni Hadi, Ketua Dewan Pembina Dompet Dhuafa

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Parni Hadi (Dewan Pembina Dompet Dhuafa)

Masjid sebagai tempat sholat, berdzikir dan mengaji  semua orang sudah mafhum.  Lingkungan masjid sebagai pusat kegiatan ekonomi rakyat, lumayan banyak.  Masjid menyediakan tempat layanan kesehatan untuk kaum miskin, sudah ada, tapi masih jarang. Masjid sebagai tempat pendidikan ketrampilan untuk bekal hidup (life skills) idem ditto.

Lalu apa yang saya maksud dengan masjid sebagai “Center of Excellence” atau pusat keunggulan? Yakni, masjid sebagai pusat  pergerakan ekonomi rakyat berbadasar syariah, pusat pelayanan  kesehatan  gratis atau murah (dengan subsidi silang) dan pusat diklat untuk ilmu dan ketrampilan untuk hidup  seperti  bahasa-bahasa asing, di samping Arab,  komputer dan kewirausahaan (entrepneurship). Di samping itu, masjid sebagai pusat pengembangan  budaya nilai-nilai  luhur yang diamalkan langsung, misalnya melalui kegiatan relawan dan Pramuka  berpangkalan masjid.

Saya ini bukan ustadz. Berbekal  sejumlah ayat  yang saya ketahui dan coba amalkan sesusai kemampuan dan pengalaman menjadi “orang tua” bagi teman-teman dan adik-adik pengurus Dompet Dhuafa selama 20 tahun,  sejak beberapa bulan lalu saya memberanikan diri mengusulkan gerakan menjadikan masjid sebagai  pusat  keunggulan.

Semula adalah Pimpinan Dewan Masjid  Jaktim (Jakarta Timur) yang mengundang saya ceramah tentang itu sekitar dua  bulan lalu. Kemudian, di Masjid Jami Al Mujahidin,  Cakung, Jaktim dalam  ceramah  dan diskusi bakda sholat Subuh akhir tahun lalu.  Dan, terakhir Ahad, 5 Januari, 2014, dalam “cerpen” (ceramah pendek)  bersama sekitar 200 anggota jamaah Wasilah Subuh di Masjid Al Khairat, Halim Perdana Kusumah, Jaktim juga.

Alhamdulillah, dalam  kesempatan yang terakhir itu, sejumlah kenalan dan teman lama hadir. Antara lain, mantan Wagub DKI Museno,  Komjen Pol Anton Bachrul Alam, Irsum Polri, Mayjen TNI Arif Rahman, Dan Seskoad, Marsma  TNI  Sogiyarto, aktivis Pramuka.  Mereka diundang oleh Ketua Umum Wadah Silaturahmi  Subuh,  KH Abdul Malik.

Topik aselinya berjudul “Memberdayakan Masyarakat Berbasis Masjid”. Berkat tanya jawab dan usulan dari para jamaah, makin lengkaplah bahan presentasi itu, alhamdulillah. Rupanya gayung  bersambut.

Potensi besar

Mengapa muncul usul itu? Pertama, masjid adalah pusat orang berkumpul untuk sholat dan melakukan ritual ibadah Islam lainnya. Kumpulan orang mengandung potensi besar. Apalagi, kumpulan banyak orang dengan niat baik untuk menyembah Allah, masing-masing  dalam keadaan suci badannya,  rapi dan bersih pakaiannya dan insya Allah demikian pula bathinnya. Potensi mereka untuk digerakkan demi kebaikan, baik tenaga, pikiran, keahlian, waktu maupun  harta kekayaannya  besar.

Bagi pengusaha, kumpulan orang itu berarti kumpulan uang, minimal masih dalam bentuk  potensi. Mengapa tidak kita gerakkan uang atau yang masih dalam bentuk potensi itu menjadi kenyataan? Umat Islam  diwajibkan membayar zakat. Kewajiban berzakat itu tercantum dalam hampir 30 ayat Alquran secara berurutan: setelah mendirikan sholat, lalu  menunaikan zakat. Masjid adalah tempat terbaik untuk membayar zakat.

Orang berkumpul mungkin lapar dan haus. Ini membuka kesempatan usaha kuliner. Orang sholat perlu pakaian, wangi-wangian dan perlengkapan beribadah yang sebaik mungkin. Ini membuka lapangan usaha juga. Orang berkumpul  perlu peralatan rumah tangga, motor, mobil  dan jasa-jasa lainnhya. Hal itu sudah nampak terutama pada hari Jumat , yakni munculnya pasar “kaget” di lingkungan masjid.

Sebagian potensi ekonomi memang masjid sudah dimanfaatkan, tapi  belum optimal. Kita bisa mencontoh lingkungan sekiitar  Majidil Haram  di Mekah telah menjadi pusat perekonomian yang ramai. Mulai dari berbagai restoran, toko perhiasan dan pakaian sampai  hotel-hotel pencakar langit tumbuh menjamur di sana. Demikian pula dengan wilayah sekitar Masjid Nabawi, di Medinah. Tentu status sosial ekonomi jamaah haji dan umrah menentukan makanan  dan layanan apa yang mereka perlukan.

Untuk jamaah masjid Indonesia, tentu  status sosialnya  bervariasi. Para pengusaha sudah tahu itu dan piawai untuk  menyesuaikan diri. Kalau mau menyasar kaum muslim yang kaya, tentu bisa saja dibangun kompleks  perumahan elit berlogo islami  dengan masjid sebagai pusatnya. Tapi, yang saya maksud pemberdayaan masyarakat berbasis masjid, tentu sasaran utamanya bukan kaum kaya, melainkan  kaum dhuafa. Karena itu, zakat dari para muzaki (yang wajib bayar zakat), infaq dan sedekah dari  para jemaah  yang dermawan, jika dikelola dengan baik dan benar sesuai syariah, bisa menjadi mesin penggerak pemberdayaan untuk kaum dhuafa (mustahik).

Mesjid dan jamaah yang saya maksudkan adalah di daerah pemukiman, bukan di kantor-kantor.  Penduduk sekitar masjid dan pedangang sekitar masjid, yang menjadi jamaah, adalah sasaran pemberdayaan ini. Yang kaya dan ahli menjadi penolong dan yang miskin menjadi penerima manfaat.

Menurut catatan, di Indonesia terdapat sekitar satu juta masjid, tiga ribu lebih di antarnya di DKI Jakarta. Jumlah musholla lebih banyak lagi. Jika rata-rata sumbangan per holat Jumat per masjid berjumlah Rp. 1 juta, maka terkumpullah Rp 1 trilyun setiap minggu atau Rp 52 trilyun per tahun. Jika ditambah zakat yang wajib, tentu lebih besar lagi dana yang terkumpul.

Badan hukum masjid

Dengan dana itu, penduduk miskin dan pedagang kecil  yang tinggal, mencari kehidupan  di sekitar dan menjadi  jamaah masjid  bisa dibina agar terbebas dari kemiskinan dan menjadi lebih berdaya. Kaum dhuafa bisa diajak untuk mendirikan usaha kecil, setelah mendapatkan pelatihan dan bimbingan plus bantuan modal. Mereka bisa mendirikan usaha bersama, seperti koperasi dan atau  BMT (Baitu Maal wa Tamwil) atas nama jamaah masjid.

Untuk itu ada persoalan yang harus diselesaikan dulu, yakni kebanyakan masjid di Indonesia belum berbadan hukum yayasan atau perhimpunan sesuai ketentuan perundangan. Akibatnya, badan usaha yang didirikan oleh dan atas nama masjid  tidak punya akses ke sumber dana dari perbankan. Jamaah mesjid pada umumnya juga tidak terdaftar sebagai anggota. Oleh karena itu, perlu ada data base dari jamaah masjid, mulai dari usia, jenis  kelamin, status keluarga, profesi, status sosial dan status sosial ekonominya.  Pendataan ini bisa melibatkan remaja masjid setelah mendapat pelatihan  seperlunya.

 Sebelum itu semua,  yang perlu dilatih pertama kali adalah para pengurus masjid tentang manajemen, mulai dari tata buku yang sederhana sampai mengelola dan mengembangkan potensi dan aset masjid.

Pusat kesehatan dan diklat

Orang yang miskin secara ekonomi dapat dipastikan miskin dalam bidang kesehatan, akibat asupan gizi yang kurang dan tidak punya  cukup uang untuk memelihara kesehatan.  Oleh karena itu bersamaan dengan pemberdayaan di bidang ekonomi, pemberdayaan di bidang kesehatan sangat perlu. Ini dapat dilakukan dengan mendirikan pusat layanan kesehatan di  bangunan sekitar masjid untuk memberi penyuluhan dan  pelayanan cuma-cuma atau dengan biaya minim, jika belum ada Puskesmas terdekat.

Kalau keadaan belum memungkinkan,  untuk sementara bisa didirikan sekedar poskesling  (pos kesehatan keliliing). Tenaga medis bisa berasal dari di antara jamaah yang berprofesi di bidang medis (dokter, bidan dan perawat), obat tentu bisa diperoleh dari donasi jemaah yang kaya, urunan atau bantuan dari pihak luar.

Orang yang miskin secara kesehatan akan miskin secara pendidikan, akibat kesehatan yang rapuh dan tidak punya biaya untuk sekolah dan membeli buku dan perlengkapan belajar lainnya. Karena itu, masjid sebagai tempat berkumpul dan atau kumpulan jamaah dengan berbagai profesi dan potensi, bisa digerakkan untuk mendirikan sekolah atau tempat kursus ketrampilan. Guru atau pelatihnya, kalau bisa dari kalangan jamaah sendiri dan atau tenaga profesional, baik sukarelawan maupun yang menerima bayaran.

Yang diajarkan, bukan hanya mengaji  Alquran dan Hadits, yang umumnya sudah diselenggarakan, tapi ilmu ketrampilan untuk hidup. Keahlian memasak, menjahit , salon dan ketrampilan lainnya  sering  lebih diperlukan membuka usaha sendiri atau bekerja untuk orang lain. Pendirian pusat gerakan ekonomi rakyat, pusat  layanan kesehatan  dan diklat ketrampilan untuk hidup  dengan sistem gotong royong antarjamaah  akan menguatkan akidah, silaturahmi dan sekaligus memberdayakan siapa saja yang memerlukan.

Alangkah bagusnya, jika ada jemaah ditanya  mau cari modal,  berobat dan belajar komputer dan bahasa Cina, misalnya,  secara mudah, berkwalitas  dan murah (atau gratis), jawabnya singkat:  ke masjid!

Secara bertahap lembaga ekonomi, pelayananan kesehatan dan pendidikan di lingkungan masjid itu tentu bisa terus dikembangkan, sehingga masjid sebagai “center of excellence” bukanlah mustahil. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement