Kamis 17 Jul 2014 14:46 WIB

Real Count Pilpres, Wisdom of Crowd dan IT Audit

Mochamad James Falahuddin
Foto: dokpri
Mochamad James Falahuddin

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Mochamad James Falahuddin*

Pemilihan Presiden 2014 ini bisa ajang pemilihan yang paling fenomenal karena banyak sekali kejutan-kejutan yang mengiringinya. Dimulai dari proses kampanye yang bisa dibilang kampanye paling brutal yang pernah terjadi dalam sejarah kita berdemokrasi. Dilanjutkan dengan masing-masing kubu mengklaim kemenangan berdasarkan quick count yang berbeda dari sejumlah lembaga survei.

Dan yang cukup menarik, terutama dari sisi IT, adalah munculnya inisiatif sejumlah praktisi teknologi informasi untuk membuat sistem tabulasi elektronik (real count ) sendiri dengan proses entri data manual berdasarkan scan Form C1 dari tiap TPS yang disediakan oleh KPU melalui website resminya.

Proses entri data sendiri dilakukan secara keroyokan oleh sejumlah netizen, yang direkrut melalui media sosial. Fenomena keroyokan ini dikenal juga dengan istilah “crowdsourcing”.

Dibandingkan dengan quick count yang membutuhkan pemahaman statistik tingkat tinggi, real count versi crowdsource ini menawarkan beberapa kelebihan /kemudahan untuk mereka yang awam dengan statistik.

Pertama, penggunaan aplikasi tabulasi elektronik menawarkan jumlah data set yang meliputi seluruh TPS yang berjumlah 450 ribu lebih, jadi bukan sekedar “beberapa ribu” sample seperti quick count. Tentu saja dengan data set yang jauh lebih banyak, seharusnya “real count” ini memberikan hasil yang lebih presisi.

Kedua, proses crowdsourcing yang melibatkan sejumlah besar netizen, diharapkan mampu mewujudkan “Wisdom of Crowd” yang mampu meminimalisir kesalahan-kesalahan yang terjadi di dalam prosesnya. Pertanyaannya adalah seberapa presisi hasil realcount versi crowdsource ini? Atau mungkinkah realcount versi crowdsource ini “lebih benar” dibandingkan hasil perhitungan KPU yang sedang berjalan?

Untuk menjawab pertanyaan diatas setidaknya sistem real count tersebut harus lolos dua jenis test: Test terkait apakah “wisdom of crowd” muncul dalam prosesnya, dan audit terhadap aplikasi yang digunakan dalam melakukan realcount ini.

Pertama, dalam bukunya The Wisdom of Crowds: Why the Many Are Smarter Than the Few and How Collective Wisdom Shapes Business, Economies, Societies and Nations yang diterbitkan tahun 2005, James Surowiecki, menetapkan sejumlah kondisi yang bisa memicu munculnya “wisdom of crowd” dalam sebuah proses crowdsourcing, diantara :  Keragaman opini Setiap personil yang terlibat harus memiliki informasi / opini yang bersifat privat terhadap sebuah fakta, meskipun informasi / opini tersebut bisa dianggap nyeleneh.

Sebaliknya opini yang seragam/homogen akan memandulkan wisdom of crowd ini - Kebebasan dimana opini yang dimiliki oleh seseorang yang terlibat, tidak ditentukan / dipengaruhi oleh opini orang-orang sekitarnya. Jadi kalau ada anggota kelompok yang merasa “harus” mengikuti opini dari anggota lainnya, juga akan membuat wisdom of crowd gagal muncul ke permukaan - Non Emosional. Keterikatan emosional antara crowd dengan proses yang berjalan akan membuat crowd tidak mampu memberikan penilaian secara objektif.

Karena itu setiap anggota kelompok harus mampu “menjaga jarak” dengan proses yang berjalan. Absen nya satu atau beberapa kriteria di atas, akan membuat collective intelligent dari sebuah crowd gagal menyajikan “wisdom” nya, sehingga crowd menjadi tidak lebih dari sekedar sekumpulan orang yang diperintahkan untuk mengerjakan sesuatu tanpa ada kritik terhadap proses yang berlangsung. Padahal pendekatan kritis inilah kunci dari hadirnya output yang lebih baik dari proses crowdsourcing.

Kedua, terkait dengan audit terhadap aplikasi. Sebetulnya banyak hal terkait audit yang harus dilakukan terhadap sebuah aplikasi untuk menjadikan output nya bisa dipercaya. Mulai dari perencanaan, desain, infrastruktur, hingga source code, perlu dilakukan audit.

Biasanya yang melakukan audit IT yang sangat exhaustive itu dunia perbankan yang sangat sensitif dengan validitas data. Sedangkan untuk kasus aplikasi realcount versi crowdsource ini, mungkin bisa difokuskan pada Information Life Cycle Management (ILM) , dimana data adalah inti dari ILM ini.

Ada empat tahapan penting yang harus diperhatikan dalam proses audit terhadap ILM dari sebuah aplikasi yaitu : Pertama, bagaimana menemukan semua data? Kedua, Bagaimana mengumpulkan semua data yang relevan?  Ketiga, Bagaimana mengklasifikasikan dengan tepat semua data yang relevan?  Keempat, Bagaimana mengendalikan secara efektif semua data yang relevan ?

Sayangnya, baik dari website maupun laman media sosial real count versi crowdsource ini sangat minim informasi terkait profil dari relawan-relawan yang terlibat dalam prosesnya. Sehingga agak sulit untuk menilai apakah “wisdom of crowd” dapat diharapkan muncul dari kerja keroyokan ini.

Di sisi lain, informasi terkait bagaimana data diolah, background proses apa saja yang terjadi sesudah entri manual oleh relawan, bagaimana prose aritmetik yang dilakukan , juga sangat minim tersedia baik melalui website ataupun melalui berita yang beberapa hari ini cukup banyak meliput kegiatan ini.

Kesimpulannya, sebaiknya kita tidak mengambil kesimpulan dan keputusan apa-apa dulu dari hasil yang ditampilkan di laman crowd source tersebut.

Saya sendiri tidak begitu yakin apakah hasil crowd source ini dapat dijadikan sebagai data pembanding jika terjadi dispute pada proses formal di KPU atau tingkat selanjutnya, tanpa terlebih dahulu dilakukan audit menyeluruh terhadap sistemnya.

Untuk itu marilah kita menunggu finalisasi proses perhitungan yang sedang dilakukan oleh KPU beserta jajarannya, dan mari kita berdoa semoga semua pihak diberikan kebesaran hati untuk menerima apapun hasilnya pada 22 Juli nanti.

* Penulis adalah Praktisi Teknologi Informasi, IBM Certified Application Developer, IBM Certified Solution Architect

  @mjamesf

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement