Untuk menekan over crowded, selain menambah kapasitas hunian, Kemenkumham juga melakukan pemindahan narapidana. Namun solusi ini tidak memberikan dampak yang berarti. Langkah taktis ini dilakukan hanya untuk meratakan kapasitas dan stabilitas keamanan, dari wilayah yang crowded ke wilayah yang masih memungkinkan daya tampungnya. Tidak menjawab penanggulangan yang komprehensif, khususnya hak-hak dasar penghuni lapas/rutan.
Dua kebijakan di atas, baik menambah kapasitas hunian dan pemindahan memerlukan anggaran yang sangat besar, namun dirasakan belum mampu menekan tingkat hunian lapas/rutan, bahkan tetap saja dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.
Langkah lain yang dilakukan Kemenkumham adalah melakukan optimalisasi pemberian hak-hak warga binaan yaitu pemberian Remisi (pengurangan masa pidana) dan program reintegrasi sosial, seperti Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Bersyarat (CB) dan Cuti Menjelang Bebas (CMB).
Kebijakan percepatan reintegrasi sosial ini mulai dicetuskan pada tahun 2006 saat Mentrinya Andi Mattalatta. Optimalisasi program reintegrasi sosial ini, menurut Andi bukan hanya menjadi solusi untuk masalah over kapasitas lapas/rutan, tetapi juga masalah anggaran.
Logikanya, semakin sedikit jumlah penghuni maka semakin sedikit anggaran yang akan dihabiskan. Saat itu Andi mengklaim gagasan ini bukanlah gagasan yang absurd, karena telah terbukti pada tahun 2006 dengan memberikan PB kepada 5.346 orang, saat itu departemen yang dipimpinnya mampu menghemat biaya bahan makanan Rp 21.6 miliar. Jumlah yang tidak kecil, tentunya.
Meski mendapat kecaman dari berbagai pihak, dengan tuduhan obral remisi dan PB. Pada dasarnya remisi dan PB bukanlah barang baru dan tidak melanggar aturan. Keduanya telah diatur dalam peraturan dan ketentuan yang sah.
Remisi ataupun PB, diberikan kepada warga binaan sebagai reward bagi mereka yang berperilaku baik selama masa pembinaan sebagaimana telah diatur dalam UU No.12/1995 tentang Pemasyarakatan, Kepres No.174/1999 tentang Remisi dan PP No.32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Dikatakan obral pun tidak, karena untuk mendapatkan dua hak ini, Kemenkumham sudah memperketat persyaratannya dengan mengubah PP 32/99 dengan PP 28/2006 dan kemudian disempurnakan dengan PP 99/2012. PP terakhir menambah beberapa persyaratan remisi dan PB khusus kepada warga binaan kategori khusus seperti narkoba, teroris, korupsi dan kejahatan transnasional lainnya.
Pelaksanaan PB pun bukan berarti Kemenkumham serta merta mempersingkat hukuman narapidana. Pasal 15 KUHP telah menetapkan, bahwa seorang narapidana dapat diberikan pembebasan bersyarat jika telah menjalani 2/3 masa pidanannya. Sesuai dengan namanya narapidana yang mendapatkan hak PB dapat dikeluarkan dengan berbagai persyaratan yang saat ini diatur dalam PP 32/99 dan disempurnakan dengan PP 99/2012. 1/3 masa pidana yang dijalani ditengah-tengah masyarakat adalah masa percobaan dengan pengawasan.
Mereka tetap harus mentaati aturan dan lapor diri. Jika aturan mereka langgar atau melakukan tindak pidana lagi selama masa percobaan, maka pembebasan bersyaratnya dicabut, dan kembali lagi hidup di dalam lapas.
Rubah perilaku dan hemat anggaran
Sebagaimana konsep yang tertuang dalam Sistem Pemasyarakatan, seorang narapidana di anggap berhasil manakala pada saat bebas telah melalui tahapan proses pembinaan di dalam Lapas. Seperti bebas karena mendapat remisi ataupun bebas karena program PB, CMB atau CB.
Program percepatan pengembalian warga binaan ke tengah-tengah masyarakat melalui pemberian remisi dan reintegrasi sosial (PB, CB dan CMB) sampai saat ini masih merupakan cara efektif, selain mengurangi jumlah penghuni di lapas/rutan juga dapat merubah perilaku dan menghemat anggaran.
Selama kurun waktu tiga tahun (2011 dan 2013) lebih dari 12.000 narapidana yang bebas setelah mendapat remisi yang besarannya antara 1 bulan hingga 6 bulan. Demikian pula narapidana yang telah berhasil mengikuti program pembinaan di Lapas/Rutan dan mendapatkan program reintegrasi sosial seperti PB saja selama kurun waktu 2011 hingga 2013 berjumlah 79.597 orang, belum ditambah yang bebas karena CMB dan CB.
Jika saja pemberian remisi dan program reintegrasi sosial ini tidak dioptimalkan, bisa kita pastikan semakin cepat lonjakan penghuni di lapas/rutan. Program reintegrasi ini tentu saja memberi kontribusi yang sangat besar dalam mengurangi isi lapas dan rutan serta penghematan anggaran.
Maka pantaslah jika Kementerian pengusung penegakkan HAM ini masih mempertahankan dan tetap mengoptimalkan pemberian hak atas remisi, PB, CB dan CMB. Kemenkumham juga meyakini bahwa pemberian hak-hak warga binaan ini menjadi salah satu faktor yang mampu mengendalikan perilaku warga binaan selama hidup di dalam lapas/rutan. Karena salah satu syarat untuk mendapatkan hak ini adalah mengikuti program pembinaan di dalam Lapas/Rutan serta tidak melanggar aturan.
Dan pastinya dengan mengoptimalkan pemberian hak-hak ini, Kemenkumham turut memberikan kontribusi cukup besar pada penghematan anggaran negara. Sebagaimana tahun 2013 terdapat 49.000 narapidana yang bebas karena mendapatkan PB, CB, dan CMB, jika di asumsikan rata-rata 1/3 masa percobaannya 6 bulan maka Kemenkumham mampu menghemat anggaran negara sebesar Rp. 257,4 miliar.
Rehabilitasi para pecandu narkotik dan perbaiki sistem pemidanaan
Data smslap.ditjenpas.go.id menunjukkan jumlah narapidana/tahanan kasus narkotika mendominasi penghuni lapas/rutan seluruh Indonesia. Tercatat sebanyak 47.231 orang, artinya lebih dari 30% dihuni narapidana dengan kasus narkotika. Diantara jumlah tersebut yang tergolong dalam kategori narapidana kasus narkotika murni sebagai pecandu (pasal 127 UU No 35 th 2009 tentang Narkotika) sebanyak 18.973 orang, menjadi penyumbang crowded.
Kementerian Hukum dan HAM senantiasa mendorong agar para pemakai atau pecandu di tempatkan ke tempat-tempat rehabilitasi narkoba. “Solusi bagi para pecandu Narkoba bukanlah di lapas, namun pusat-pusat rehabilitasi. Lapas dan Rutan bukan tempat yang tepat untuk para pecandu,” ujar Wamenkumham Denny Indrayana saat meresmikan layanan rehabilitasi bagi narapidana pengguna narkotika murni di RS Pengayoman Cipinang beberapa waktu lalu.
Pecandu sebagai korban lebih efektif apabila diberikan terapi atau dimasukkan ke pusat rehabilitasi pun telah disepakati oleh Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Jaksa Agung, Kepala Polri, Kepala BNN dengan menerbitkan Peraturan Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi pada 11 April 2014 lalu.
Namun hingga kini belum dirasakan dampaknya dapat mengurangi crowded di Lapas/Rutan, walaupun beberapa tempat rehabilitasi sudah mulai dibangun tempat rehabilitasi bagi pecandu narkotika. Upaya penanggulangan peningkatan jumlah penghuni lapas/rutan tidak bisa dilakukan Kemenkumham sendiri. Upaya ini merupakan tanggung jawab bersama dan sangat tergantung pada kebijakan politik hukum nasional.
Kita bisa lihat hampir semua produk undang-undang yang mengatur perikehidupan berbangsa dan bernegara, ujung-ujungnya sangsi pidana penjara. Al hasil para aparat penegak hukum dengan bermodal regulasi yang ada; Kepolisian aktif melakukan penangkapan dan penahanan. Demikian juga Kejaksaan menjadi sibuk menyusun penuntutan yang berujung Hakim di pengadilan memberikan vonis berupa pidana penjara seberat-beratnya, ketimbang pidana alternatif lainnya dengan dalih tuntutan masyarakat yang cenderung menghukum.
Menimbang, atas nama rasa keadilan masyarakat dan efek jera, maka hukuman yang diberikan selalu maksimal. Dampaknya lapas/rutan akan selalu mengalami over crowded dari tahun ketahun. Lalu sampai kapan Lapas/Rutan kita tidak over crowded?
Semoga dengan kepemimpinan dan pemerintahan yang baru, dapat memberikan solusi terbaik dengan kebijakan politik hukum melalui perbaikan sistem pemidanaan dengan memberikan pidana alternatif seperti pidana denda, pidana kerja sosial, dan sebagainya.