Sabtu 18 Jul 2015 05:30 WIB

Menyoal Akhlak di Media Sosial (2)

Red: M Akbar
Hidup dengan media sosial tak selalu buruk, pastikan terjadi keseimbangan antara dunia nyata dan dunia online.
Foto: Agung Supriyanto/Republika
Hidup dengan media sosial tak selalu buruk, pastikan terjadi keseimbangan antara dunia nyata dan dunia online.

Oleh: Khairil Miswar (Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh)

Nitizen dan Etika Media Sosial

Di zaman ini, media sosial bukanlah barang asing dan “mewah” sebagaimana telepon rumah dan televisi “layar cembung” sebagaimana telah disinggung pada awal tulisan. Ia adalah barang “murah meriah” yang bisa dimiliki dan diakses oleh siapapun, tanpa mengenal kelas ekonomi.

Perkembangan media sosial yang semakin pesat akhir-akhir ini, jika dihadapi dengan sikap “latah” tentu akan berdampak buruk bagi para penggunanya. Memang pada prinsipnya teknologi itu diciptakan untuk kemudahan bagi manusia. Dalam prakteknya, tentu sangat tergantung kepada para pengguna, di mana teknologi itu bisa bermuara kepada manfaat dan bisa pula berujung pada mudharat. Sama halnya seperti pisau, bisa digunakan untuk memotong daging atau sayuran, dan bisa pula untuk membunuh.

Melalui media sosial kita bisa berbagi informasi yang bermanfaat. Di sana, kita bisa berdagang, bisa membuka ruang diskusi hingga menjadikannya sebagai wadah menyambung silahturahim. Di sisi yang lain, melalui media sosial, kita juga bisa melakukan kejahatan. Sebutlah penipuan, transaksi narkoba, perjudian online, provokasi dan sederetan kejahatan lainnya.

Di sinilah dituntut moralitas dan etika bagi warga dunia maya (netizen) agar tidak salah kaprah dalam menggunakan media sosial. Sama halnya dengan kejahatan di “dunia nyata”, kejahatan di “dunia maya” juga bisa berurusan dengan hukum sebagaimana telah diatur dalam undang-undang (ITE).

Jika dicermati, kejahatan yang dilakukan via media sosial terlihat “lebih aman” dibanding dengan kejahatan di dunia nyata. Proses pelacakan kejahatan via media sosial juga terbilang sulit. Di sini yang kita hadapi adalah “manusia-manusia maya”, berbeda dengan “manusia nyata” yang jelas bentuk dan wujudnya.

Seorang warga dunia nyata ketika ia masuk ke dunia maya, ia bisa “menciptakan” diri menjadi beberapa wujud (akun). Seorang yang alim di dunia nyata bisa saja memosisikan diri sebagai “munafik” di dunia maya. Demikian pula sebaliknya, seorang penjahat kelas kakab di dunia nyata bisa pula mencitrakan dirinya sebagai seorang ustaz di dunia maya.

Bahkan, bukan tidak mungkin, satu sosok di dunia nyata bisa berubah menjadi three in one melalui tiga akun Facebook. Melalui akun asli dia menyebarkan dakwah dan pesan-pesan bernuansa religius, dan dalam waktu bersamaan melalui akun palsu dia bisa saja menjadi “provokator” yang menyebarkan kebencian kepada khalayak. Demikianlah “kehidupan maya” yang sulit ditebak, di mana kejujuran menjadi “barang mahal”.

Di sisi lain, pola komunikasi di dunia maya pun terkadang sering tanpa terkendali. Jika di dunia nyata dia bersikap kalem, saleh dan alim – entah sebagai pencitraan atau memang aslinya begitu, wallahu alam.

Tapi di dunia maya dengan menggunakan akun palsu, dia bisa saja bersikap “brutal” dan mencela siapa saja sampai mulutnya “berbusa”. Ini baru pola komunikasi, belum lagi kegiatan-kegiatan “tak senonoh” lainnya, semisal membagikan (share) foto dan video-video tak pantas guna membuka aib orang lain atau malah justru “memasarkan” aibnya sendiri. “Pening kepala awak”, begitulah fenomena dunia maya saat ini.

Di sinilah tantangannya. Jika sudah demikian adanya, inilah yang mungkin disebut para netizens kaya Iptek tapi miskin Imtaq (iman dan takwa). Wallahul Musta’an.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement