Sabtu 02 Apr 2016 09:16 WIB

Membangun Budaya Riset PT Muhammadiyah dari Bawah

Red: M Akbar
Pada 1998 iMac lahir. Komputer ini memiliki moden 56 Kb.
Foto: getty images
Pada 1998 iMac lahir. Komputer ini memiliki moden 56 Kb.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dewi Setiyaningsih

(Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM AR Fakhruddin Kota Yogyakarta 2015/2016)

Salah satu pilar penting dalam wilayah akademik adalah research and development. Research and development bisa dianggap sebagai buah dari keilmuan. Dari situ, manfaat ilmu dapat dituangkan secara kongkret.

Untuk itu, dalam Rakornas Majelis Dikti PP Muhammadiyah yang diselenggarakan di Semarang kali ini, topik riset menjadi salah satu pembahasan penting. Sejauh dari evaluasi yang diadakan, hingga hari ini PTM-PTM masih memiliki banyak kekurangan dalam hal riset.

Meskipun ada beberapa yang mulai maju, tapi jumlah penelitiannya pun masih jauh dari PTN-PTN. Mengutip apa yang di paparkan oleh Prof Dimyati dalam forum Rakornas Majelis Dikti PP Muhammadiyah, setidaknya ada tiga masalah empirik PTM dalam wilayah research and development.

Pertama, kelembagaan riset yang masih di bawah standar, yakni belum adanya RIP (Rencana Induk Penelitian), padahal RIP merupakan core inti dari sebuah rancangan penelitian. Kedua, dalam hal kinerja pengabdian masyarakat dan ketiga publikasi penelitian yang belum maksimal.

Dalam hal ini, ada tiga urgensi program yang musti dilakukan antara lain klaster LPPM dan kualitas riset, hilirisasi riset melalui pengabdian kepada masyarakat serta publikasi dan pengelolaan jurnal dengan baik.

Menggagas strategi yang praktis adalah sebuah keharusan mengingat PTM butuh diselamatkan kualitas akademiknya secepat mungkin. Selain itu, untuk menjamin bahwa anak didiknya mendapat asupan ilmu yang bergizi, bukan hanya doktrinasi atau wacana dari ruang imajinasi.

Namun, upaya praktis tersebut belumlah cukup. Harus ada program jangka panjang melalui basis. Dalam hal ini, potensi kader-kader muda Muhammadiyah di tingkatan mahasiswa bisa menjadi alternatif dalam memecah kelesuan riset di tataran akademisi PTM.

Untuk merealisasikannya, Majelis Dikti dapat menggunakan ortom-ortom kepemudaan Muhamamdiyah seperti IMM sebagai lokus dalam upaya membangun budaya riset di Muhammadiyah.

Dimana hal ini sebenarnya telah tertuang dalam program bidang III Majelis Dikti PP Muhamamdiyah, yakni menjalin kerjasama dengan persyarikatan yang di dalamnya mencakup ortom-ortom persyarikatan. Hanya saja perlu di gagas secara terperinci dan strategis bagaimana bentuk dari program kerjasama tersebut.

Strategi membangun budaya riset dari bawah menjadi tawaran yang layak diperhitungkan mengingat tidak selamanya posisi-posisi pimpinan baik di PTM maupun di Majelis diisi oleh orang-orang yang sama sepanjang masa.

Untuk itu, melirik bibit-bibit yang akan mengisi posisi tersebut menjadi langkah yang perlu diperhitungkan. Dengan demikian, anak-anak muda Muhammadiyah tidak hanya menjadi kader dengan beban ideologis semata melainkan juga menjadi kandidat-kandidat akademisi profesional untuk memajukan PTM-PTM kedepannya.

Sejauh ini, secara kelembagaan IMM adalah ortom yang memiliki beberapa keunnggulan untuk menjadi lokus dalam upaya membangun budaya riset dari bawah. Pertama, basis masa IMM adalah kalangan mahasiswa yang secara disiplin ilmu beraneka ragam.

Kedua, IMM memiliki peran sosial di masyarakat dalam bentuk gerakan sosial. Namun, di sisi lain IMM memiliki persoalan akan penguasaan ilmu-ilmu berbasis eksakta lantaran ilmu-ilmu sosial humaniora dianggap lebih bergengsi dalam wacana gerakan sosial.

Sehingga menyebabkan studi ilmu eksakta sering tersingkir dari ruang diskusi. Hal ini menjadikan IMM dalam pergerakannya cenderung jauh dari ruang ilmiah berbasis riset-riset kasar seperti teknologi atau kesehatan.

Atas dasar tersebut, mendorong kader-kader IMM untuk berpartisipasi dalam kerja riset sebenarnya akan saling menguntungkan, baik bagi internal di IMM maupun untuk persyarikatan.

Bagi internal IMM, mereka akan semakin kuat dalam memproduksi wacana karena berlandaskan kajian strategis yang berbasis riset. Sementara bagi persyarikatan, PTM dapat meningkatkan kualitas riset dan pengabdian masyarakat melalui kontribusi kader-kader IMM.

Tawaran untuk mendorong budaya riset dari bawah ini pun sekaligus mencoba untuk meruntuhkan pandangan selama ini bahwa Muhammadiyah kurang mempedulikan kader-kader mudanya, sehingga kalangan muda biasanya mencari jalan sendiri lantaran merasa tidak terfasilitasi di persyarikatan.

Terlepas dari itu, strategi pembinaan kader-kader muda Muhammadiyah tidak cukup hanya digagas oleh MPK (Majelis Pemberdayaan Kader), melainkan bidang-bidang yang lain seharusnya memberi dukungan dan dorongan untuk pengembangan potensi.

Bagaimanapun juga, Majelis Dikti semestinya mempertimbangkan kader-kader muda Muhammadiyah sebagai agen-agen pengembang riset di PTM kelak.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement