REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhbib Abdu Wahab, Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ
Belum lama ini Presiden Joko Widodo menunjuk M Din Syamsuddin sebagai utusan khusus Presiden untuk dialog dan kerja sama antaragama dan peradaban. Penunjukan ini merupakan langkah strategis pemerintah dalam mempromosikan Islam moderat kepada dunia internasional, di tengah konstelasi global yang penuh kekerasan, konflik, dan perang. Dalam dua bulan terakhir, dunia nyaris diam terkait genosida atas Rohingya.
Tragedi krisis kemanusiaan dan kejahatan perang di Myanmar, Palestina, Suriah, Irak, dan sejumlah negara Timur Tengah semakin membenarkan tesis Samuel Huntington bahwa “setelah Uni Soviet runtuh, 'musuh dan rival utama' Barat adalah Islam".
Benarkah yang terjadi saat ini adalah benturan peradaban antara dunia Islam dan dunia Barat? Apakah ruang dialog peradaban atas nama kemanusiaan sudah tertutup untuk dibangun dan dikembangkan di tengah maraknya kekerasan, konflik, dan terorisme?
Menurut Yusuf al-Qaradhawi (2016), yang terjadi saat ini bukanlah benturan peradaban, melainkan benturan kepentingan. Kapitalisme Barat yang dimotori AS sangat berambisi menancapkan hegemoni politik dan ekonomi di dunia Islam, terutama di Timur Tengah.
Karena, dua per tiga cadangan minyak dunia berada di kawasan ini. Selain itu, negara-negara Islam umumnya masih berminda “ketergantungan teknologi”, khususnya teknologi perminyakan dan militer pada Barat.
Akibatnya, dua kutub kepentingan yang saling memiliki dependensi itu berada dalam situasi konfrontasi. Dunia Islam saat ini, lanjut al-Qaradhawi, perlu mengakui kemajuan dan keunggulan Barat di bidang sains dan teknologi, sembari berupaya keras mengejar ketertinggalan.
Maka itu, menjadi tidak relevan jika Barat dan dunia Islam harus “dibenturkan” dengan kekuatan militer dan perang fisik, meskipun AS dan sekutunya telah menabuh “genderang perang” dan “proyek politik adu domba dan pecah belah” di Afganistan, Irak, Palestina, Suriah, Yaman, dan sebagainya.
Sikap konfrontatif tidak diperlukan dalam menghadapi Barat, karena kekuatan dunia Islam dalam berbagai bidang masih sangat lemah. Alternatif terbaik adalah membangun dialog peradaban dan dialog humanis. Islam adalah agama dialogis.
Islam tidak pernah membenarkan tindakan teror, apa pun modus operandinya. Misi perdamaian ini juga tampak jelas dalam kebijakan Nabi SAW mengirim surat-surat dialogis dengan pemimpin dua super power saat itu, yakni Raja Heraklius dari Romawi dan Kisra Persia.
Sejarah Islam terlalu lama dihiasi “kultur politik” yang cenderung penuh konflik dan intrik perebutan kekuasaan dengan kekerasan. Kita perlu kembali belajar bagaimana umat Islam pada masa al-Khulafa’ al-Rsyidîn mampu hidup berdampingan.