Sabtu 04 Nov 2017 10:08 WIB

Dilema Prostitusi

Prostitusi online.    (ilustrasi)
Foto: Republika/Mardiah
Prostitusi online. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Zakka Farisy B, Deputi CEO Pusat Data Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga 2016

Apa yang seharusnya dilakukan pemerintah dalam mengatasi pelacuran? Jawaban yang beragampun muncul, mulai dari “legalkan tempat prostitusinya”, “tutup prostitusi”, hingga jawaban-jawaban lainnya.

Secara garis besar, tanggapan masyarakat secara umum terhadap fenomena ini dikelompokkan ke dalam tiga jawaban, yakni yang menolak pelacuran, yang “mengamini” pelacuran, dan yang tidak ambil pusing dengan masalah pelacuran. Bahkan, tak jarang debat pun kerap terjadi, terlebih bagi para netizen yang aktif di media sosial sehingga hampir tiap waktu dalam beberapa hari terakhir dinding lini masa media sosial dihiasi oleh isu terkait pelacuran.

Hal ini bukan tanpa sebab. Isu pelacuran ini mulai mencuat kembali sejak Pemprov DKI Jakarta mencabut izin operasional salah satu hotel yang katanya “surga dunia” yang ada di Jakarta. Menurut Gubernur DKI yang baru, penolakan daftar ulang tanda daftar usaha pariwisata (TDUP) pada Hotel Alexis yang tertuang dalam surat bernomor 68661-1.858.8 memiliki dasar yang kuat sehingga masyarakat yang menolak dan pihak pengelola usaha diminta untuk menghormati keputusan tersebut.

Pada dasarnya setiap keputusan pemerintah manapun yang akan menutup usaha prostitusi akan selalu memunculkan pro dan kontra dari masyarakat. Tentu mayarakat masih mengingat bagaimana Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dalam usahanya menutup lokalisasi gang Dolly yang digadang-gadang sebagai prostitusi terbesar se-Asia Tenggara hingga aksi Gubernur Jakarta sebelumnya Basuki Tjahja Purnama dalam menutup lokalisasi Kalijodo.

Aliran protes, terutama dari kalangan masyarakat terdampak, selalu bermunculan dalam proses penerapan keputusan tersebut. Alasannya pun beragam, mulai dari matinya mata pencaharian mereka hingga nasib PSK yang menggantung pascapenutupan.

Tak sedikit masyarakat yang mendukung dekriminalisasi terhadap pekerja seks, termasuk banyak kaum liberal dan beberapa kaum feminis yang beranggapan jika prostitusi adalah sebuah pekerjaan, dan berpendapat bahwa "pekerja seks" dapat dilindungi oleh serikat pekerja dan tindakan kesehatan dan keselamatan kerja. Lalu bagaimanakah tata kelola yang ideal untuk mengatur masalah prostitusi tersebut?

Jika mengacu pada aturan hukum di negara Indonesia dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), belum ada pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pengguna PSK ataupun PSK itu sendiri. Ketentuan KUHP hanya dapat digunakan untuk menjerat penyedia PSK/germo berdasarkan ketentuan Pasal 296 jo Pasal 506 KUHP.

Namun, dalam peraturan lain terdapat sanksi untuk pengguna PSK. Contoh peraturan yang dapat menjerat pengguna PSK dalam Pasal 42 Ayat (2) Perda DKI Jakarta No 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.Setiap orang dilarang: (a). menyuruh, memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain untuk menjadi penjaja seks komersial; (b). menjadi penjaja seks komersial; (c). memakai jasa penjaja seks komersial.

Berdasarkan peraturan tersebut terlihat jelas jika sikap Pemprov DKI Jakarta memiliki dasar yang kuat dalam menindak pelaku seks komersial.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement