REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Syafi’ie el-Bantanie *)
Beberapa tahun terakhir ini ada gejala dan perkembangan menarik di dunia pendidikan, yaitu bermunculannya sekolah non formal berbasiskan tradisi keilmuan Islam. Model sekolah ini menjadi model pendidikan alternatif yang kini tengah berkembang dan mulai menjamur di tanah air, khususnya masyarakat perkotaan yang memang melek pendidikan. Sebagai contoh, sebut saja Kuttab. Model pendidikan dasar Islam ini ternyata sangat diminati masyarakat kelas menengah atas.
Ada kesadaran dari masyarakat bahwa pendidikan bukan sekadar selembar ijazah formal, melainkan mendidik manusia itu sendiri secara sejati. Bukan lagi aspek akademik semata yang menjadi orientasi para orangtua dalam memilih sekolah, melainkan telah bergeser secara signifikan pada aspek penanaman iman dan pembentukan adab. Dan, fakta yang mengejutkan, ternyata pada aspek akademis pun model sekolah non formal ini mampu bersaing dengan sekolah formal. Adapun untuk aspek legalitas ijazah, sekolah non formal ini membekali murid-muridnya dengan ijazah paket A, B, atau C sesuai jenjangnya masing-masing.
Undang-undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 yang mengakui legalitas ijazah paket A, B, C sebagai ijazah yang diakui dan disamakan dengan ijazah sekolah formal memberikan jaminan bahwa lulusan sekolah alternatif ini tetap bisa melanjutkan ke perguruan tinggi negeri sekalipun. Maka, dengan segala kelebihan yang dimiliki, Kuttab menjadi pilihan menarik bagi para orangtua untuk menyekolahkan anak-anaknya.
Jika model sekolah alternatif ini semakin berkembang dan para orangtua pun semakin melek pendidikan, maka kita patut bertanya masih punya masa depankah sekolah formal konvensional? Para ahli pendidikan di Jerman dan Prancis misalnya, tidak lagi sekadar mempertanyakan sekolah seperti apa yang kita butuhkan di masa depan? Tetapi, telah sampai pada pertanyaan yang lebih mendasar, yaitu masih punya masa depankah sekolah?
Gagasan gila pada awal tahun 70-an tentang Deschooling Society-nya Ivan Illich atau School is Dead-nya Everett Reimer boleh jadi menemukan aktualisasinya kembali akhir-akhir ini. Apalagi bila kita mengaitkan hal ini dengan pendapat Nicholas Nigroponte, dalam bukunya Being Digital, yang tidak ragu mengatakan bahwa sekolah akan menjadi museum. Lebih menarik lagi bila The End of Education-nya Neil Postman ikut kita jadikan masukan.
Kita bertanya, apa sebenarnya yang menjadikan sekolah formal konvensional diramalkan tidak akan laku, bahkan bisa jadi dipaksa menggali kuburannya sendiri? Ada dua poin mendasar yang bisa kita diskusikan. Poin pertama aspek kurikulum. Kurikulum sekolah formal konvensional memiliki dua kelemahan mendasar, yaitu 1) Terlalu gemuk muatannya, 2) Tidak sesuai urutan belajar. Mari kita bahas satu persatu.
Jika kita perhatikan muatan kurikulum sekolah formal konvensional, maka kita akan mendapati kurikulum yang gemuk dan padat. Ironisnya, banyak muatan kurikulum yang mubadzir dan diulang-ulang. Ini menjadi dilema bagi sekolah formal untuk menambahkan muatan kurikulum kekhasan sekolah. Satu sisi jika kurikulum nasional saja sudah demikian gemuk dan padat, terlebih lagi jika ditambah dengan muatan kurikulum kekhasan sekolah. Namun, sisi lain jika tidak menambahkan kurikulum kekhasan sekolah, maka sekolah mereka tidak memiliki diferensiasi dan daya saing.
Akibatnya, yang terjadi adalah murid-murid dijejali berbagai macam pengetahuan demi mengejar ketuntasan materi pembelajaran kurikulum nasional dan kurikulum kekhasan sekolah. Guru pun tidak begitu peduli apakah murid-muridnya memahami seutuhnya atau hanya setengahnya. Akhirnya, idealita kurikulum 2013 yang menekankan aspek sikap spiritual dan sosial tidak tercapai. Guru kembali terjebak mengejar aspek pengetahuan demi mengejar ketuntasan materi pembelajaran.
Poin selanjutnya, materi ajar pada kurikulum sekolah formal tidak sesuai urutan belajar. Pertama-tama yang perlu ditanamkan dan diajarkan kepada anak-anak adalah iman dan adab, bukan seabrek pengetahuan yang semestinya nanti diajarkannya sesuai tahapan dan jenjang usia anak. Lihat saja anak usia SD sekarang mereka dijejali dengan berbagai pengetahuan, padahal iman saja belum paham. Adab saja belum terbentuk. Kehadiran kurikulum 2013 dengan pendekatan tematik agak melegakan. Namun, tetap saja urutan materi ajar masih belum sepenuhnya tepat.
Bila dibandingkan dengan Kuttab, pada Kuttab Awal (setingkat kelas 1 – 3 SD), anak-anak hanya belajar dua mata pelajaran, yaitu iman dan Al-Qur’an. Ketika mulai belajar sains pun, maka sumbernya dari Al-Qur’an. Misalnya, tema manusia dalam Juz 30, Binatang dalam juz 30, Tumbuhan dalam juz 30. Bisa dibayangkan melewati jenjang Kuttab Awal saja, anak-anak sudah kokoh imannya dan bagus bacaan dan pemahamannya terhadap Al-Qur’an. Masuk ke Kuttab Qanuni (setingkat kelas 4 – 6), anak-anak baru mulai belajar berbagai ilmu pengetahuan dalam bingkai Al-Qur’an dan Hadis.
Setelah kurikulum, poin mendasar kedua yang menjadi kelemahan sekolah formal konvensional adalah guru atau pengajar. Pada poin ini ada dua hal mendasar yang perlu ditanya. Bagaimana kualitas keilmuan dan keteladanan guru?
Mari kita telisik secara jujur. Apakah guru-guru sekolah kita memiliki kompetensi keilmuan memadai? Tak perlu rumit-rumit menilai guru dari aspek ini. Tanya saja kepada guru berapa buku yang dibacanya dalam sebulan? Jika guru jarang membaca, tidak meng-upgrade pengetahuan dan wawasannya, apa yang akan diajarkan kepada murid-muridnya? Hanya itu-itu saja tiap tahunnya. Mengajar sudah 10 atau 20 tahun, tapi ilmu yang disampaikan tidak bertambah.
Kemudian, aspek keteladanan. Sudahkah guru-guru sekolah kita mampu menjadi teladan yang baik bagi murid-muridnya? Jika guru tidak mampu mendidik dan mengajar dirinya menjadi manusia baik, maka bagaimana bisa dia mendidik dan mengajari murid-muridnya? Guru haruslah selesai dengan dirinya dalam segi adab dan ibadahnya. Hal ini bukan berarti guru dituntut menjadi manusia sempurna dalam aspek adab dan ibadah. Tentu saja proses menjadi manusia baik (baca: bertakwa) adalah proses tiada henti. Namun, setidaknya seorang guru haruslah terlihat kemuliaan adabnya dan keistiqamahan ibadahnya.
Contoh sederhana, seorang guru yang mengajarkan kejujuran kepada murid-muridnya, tetapi dia sendiri berlaku tidak jujur dalam proses administrasi keguruan demi mengejar tunjangan profesi, bagaimana bisa internalisasi kejujuran itu akan berhasil?
Kita bandingkan dengan Kuttab, setiap guru Kuttab mesti lulus seleksi adab dan ilmu oleh Dewan Syariah Kuttab. Kemudian, setiap pekan mesti mengikuti verifikasi pengembangan keilmuan dan keistiqamahan adab dan ibadah oleh Dewan Syariah. Mengapa sampai demikian ketatnya? Karena, guru adalah kunci terpenting keberhasilan pendidikan. Sebagus dan secanggih apapun kurikulumnya, jika gurunya tidak berkualiatas, maka pendidikan akan gagal.
Lantas, kita bertanya bagaimana solusi bagi sekolah formal konvensional agar tetap mampu memberikan layanan pendidikan terbaik kepada murid-muridnya dengan tetap mengenakan legalitas sekolah formalnya? Tentu selalu ada solusi atas setiap permasalahan dan tantangan. Pertama, mesti ada kesadaran semua stake holder sekolah untuk tidak terlalu “formal” dalam kurikulum. Maksudnya, sekolah mesti melakukan bedah kurikulum. Tidak semua muatan kurikulum nasional perlu diajarkan kepada murid-murid. Pilihlah hanya materi-materi yang esensial. Sehingga, sekolah memiliki ruang untuk mengembangkan kurikulum kekhasan, namun tidak menjadikan kurikulum gemuk dan overload.
Kedua, mesti ada skema pengembangan guru yang sistematis dan integratif. Guru-guru perlu terus distimulasi untuk meningkatkan kapasitas keilmuan dan yang lebih penting memperbaiki adabnya. Maka, perlu ada mekanisme pembinaan, reward and punishment terhadap guru. Hal ini untuk memberikan kesadaran bahwa mendidik adalah pekerjaan yang teramat penting. Tidak bisa dilakukan oleh orang-orang yang memang tidak ada ruh menjadi guru.
Itulah dua poin mendasar yang bisa dilakukan oleh sekolah formal agar tetap mendapat tempat di hati masyarakat. Dengan demikian, sekolah formal (tidak lagi konvensional) tetap mampu menjalankan tugas terpentingnya, yaitu mendidik anak-anak bangsa ini agar menjadi generasi berkualitas. Maka, akan terjadi harmoni yang indah antara sekolah formal dan sekolah non formal, semacam Kuttab. Dua model sekolah ini bisa saling mengisi dan melengkapi dalam upaya memberikan layanan pendidikan terbaik bagi anak bangsa. Semoga kelak lahir generasi pemimpin yang mampu membawa negeri ini menuju tatanan yang beradab.
*) Direktur DD Pendidikan, Founder Sahabat Remaja Indonesia