REPUBLIKA.CO.ID, Saya seperti jutaan warga Indonesia menyukai sepak bola. Saya juga antusias setiap tim nasional Indonesia bertanding. Dulu saat masih berseragam putih abu-abu dan baru mengenal internet, kegemaran saya adalah browsing foto tim nasional.
Masih susah menemukan foto punggawa timnas di internet kala itu. Kecintaan itu tak luntur hingga era instagram dan pinterest saat ini. Meski kini sepak bola Indonesia sedang dirundung ego elite yang berujung pada perpecahan. Termasuk tim nasional kita.
Nanti petang, Tim Nasional Garuda akan menghadapi tuan rumah Irak dalam Pra Piala Asia 2015. Irak, tim yang menjunjung piala tertinggi di benua Asia 2007 silam di Gelora Bung Karno adalah raksasa sepak bola Asia. Tapi adakah yang bisa menyebut apa peristiwa di daratan Mesopotamia itu tahun 2003?
Ya, invasi besar-besaran Amerika Serikat di bawah komando George W Bush. Sadam Husein terjungkal dan negeri 1001 malam itu porak poranda. Tapi lihat apa yang dilakukan sepak bola Irak empat tahun kemudian. Irak mengajari bagaimana sepak bola dalam banyak hal bisa melewati batas-batas teritorial, politik dan konflik. Sepak bola justru bisa menjadi pemersatu.
Prancis sebelum menjuarai Piala Dunia 1998 adalah negara dengan masalah rasial yang mencolok. Tapi perhatikan komposisi pemain yang membawa Les Blues menjadi jawara di tanah sendiri. Majalah Time menyebut tim sepak bola Prancis melakukan promosi yang brilian untuk toleransi terhadap imigran.
Newsweek pernah menurunkan laporan khusus bagaimana sepak bola menyatukan Afrika. Didier Drogba mengusulkan pertandingan Pantai Gading tahun 2007 di kualifikasi Piala Dunia digelar di wilayah bekas pemberontak.
Hasilnya rakyat percaya bahwa perang saudara selama lima tahun benar-benar berakhir. Nigeria yang dilanda krisis Islam dan Kristen tak menemukan masalah dalam timnas mereka. Suporter Sudan dan Chad bahkan mesra di stadion meski negara mereka terancam terlibat perang. Untuk hal ini, sepak bola adalah pemersatu.
Tapi, Indonesia selalu unik. Bukan sepak bola yang dijadikan alat pemersatu, tapi justru sepak bola Indonesia yang kini sedang bergelut. Dua tahun krisis sepak bola Indonesia tak berujung. Masyarakat mungkin sampai level masa bodoh mendengar kata PSSI, KPSI, LPI, LSI dan sederet turunan istilah yang menginterpretasikan satu kata, perpecahan.
Saya tak pernah bisa melupakan dua gol Teddy Sheringham dan Ole Gunnar Solskjaer di injury time final Liga Champions 1999. Dua gol di menit akhir yang membuyarkan rencana pesta Bayern Munchen di Stadion Camp Nou.
Semua masih mungkin hingga masa injury time. Semua masih mungkin bagi tim nasional Indonesia untuk diperkuat talenta terbaik di nusantara. Jika PSSI tak menargetkan menang saat melawan Irak, minimal mereka belajar apa itu persatuan dan kebangkitan dari tim nasional Irak.