REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fernan Rahadi/Wartawan Republika
Kasus sepak bola gajah telah memasuki babak baru. Komisi Disiplin (Komdis) PSSI resmi mengeluarkan hukuman kepada para pelaku insiden memalukan antara PSS Sleman melawan PSIS Semarang pada lanjutan babak delapan besar Divisi Utama Liga Indonesia, Kamis (20/11) lalu.
Namun ternyata hal yang selalu dijanjikan Ketua Komdis, Hinca Panjaitan, tidak muncul bersamaan dengan keluarnya keputusan. Sebelumnya Hinca mengatakan akan ada kejutan dari hasil investigasi timnya. Ia berjanji untuk menemukan otak di balik skandal yang mempermalukan sepak bola nasional tersebut.
Nyatanya, hukuman hanya diberikan kepada para pemain, pelatih, dan manajer kedua tim. Bahkan tukang pijat (masseur) pun juga kena sanksi Komdis. Apakah ini yang dimaksudkan sebagai kejutan oleh Hinca? Saya sendiri juga kurang tahu.
Jika yang dimaksudkan adalah larangan beraktivitas sepak bola seumur hidup, maka bukan kejutan namanya. Mursyid Effendi pernah merasakannya pada saat kasus sepak bola gajah antara timnas Indonesia melawan Thailand pada Piala Tiger 1998 silam.
Saat itu, bek asal Surabaya itu dikambinghitamkan gara-gara mencetak gol ke gawang sendiri yang memastikan kemenangan Thailand atas Indonesia dengan skor 3-2. Ia pun harus menerima larangan tampil di sepak bola internasional seumur hidup, meskipun larangan aktivitas sepak bola di dalam negeri hanya berlaku setahun saja.
Saat ini, masing-masing sebanyak enam orang, baik dari kubu PSS maupun PSIS, terkena hukuman yang persis seperti yang diterima Mursyid waktu itu. Sedangkan beberapa anggota tim lainnya terkena hukuman yang lebih ringan dari larangan aktivitas seumur hidup.
Hinca yang sebelumnya dengan tegas mengatakan para pelaku yang dihukum tidak boleh melakukan banding, tiba-tiba menganulir ucapannya sendiri saat mengumumkan hukuman tersebut di depan para wartawan. "Karena menyangkut nasib orang yang terlibat, seluruh putusan bisa dibanding," katanya.
Hal ini tentu memunculkan sejumlah pertanyaan besar. Mengapa Komdis PSSI tiba-tiba melunak terhadap hukuman berat yang dibuatnya sendiri? Apakah mereka khawatir para terhukum dari PSS dan PSIS akan 'buka suara' mengenai peristiwa yang sebenarnya terjadi di Lapangan Sasana Krida AAU, Berbah, Sleman, 26 Oktober lalu?
Sejauh ini, para pemain yang terhukum memang langsung bereaksi karena beratnya sanksi yang dikeluarkan Komdis PSSI. Sedangkan pihak klub terkesan lebih berhati-hati mengeluarkan pernyataan. Akan tetapi mereka kompak ingin mengajukan banding.
Apakah hal ini yang sebenarnya dimaui Komdis PSSI? Sedikit menerka-nerka, seandainya banding mereka dikabulkan Komisi Banding (Komding) PSSI, maka apa yang akan terjadi? Yang pasti benang kebenarannya akan semakin kusut.
Seorang kawan mengingatkan saya pada kasus yang terjadi jelang Piala Asia 2007 yang digelar di Indonesia. Saat itu, menjelang turnamen ada sebuah kasus besar mengenai dugaan suap oleh klub Penajam Medan Jaya kepada dua pengurus PSSI, Togar Manahan Nero dan Kaharuddin Syah.
Saat itu Togar berstatus sebagai ketua Komdis PSSI. Sedangkan Kaharuddin adalah anggota komite eksekutif (exco) PSSI. Keduanya diduga menerima suap sebesar Rp 100 juta dari pengurus klub Medan Jaya.
Ujung dari kasus itu dua pengurus klub Medan Jaya yang melakukan suap dihukum seumur hidup. Akan tetapi Togar dan Kaharuddin justru bebas dari hukuman. Kasus tersebut menghilang dengan sendirinya karena pada pagelaran Piala Asia timnas mampu tampil memikat meskipun akhirnya kalah dari Arab Saudi dan Korea Selatan.
Hampir sama dengan kasus waktu itu, penyelesaian dari kasus sepak bola gajah ini dilakukan dua hari jelang berlangsungnya turnamen Piala AFF 2014. Semoga saja ini hanya kebetulan saja, namun jangan sampai prestasi timnas digunakan untuk mengaburkan kasus yang memalukan sepak bola Indonesia di mata dunia ini.
Ketika PSSI tampaknya tidak lagi bisa diharapkan untuk mengusut kasus ini, sudah saatnya pemerintah Indonesia turun tangan. Pemerintah bisa meniru cara yang dilakukan Vietnam pada Piala AFF kali ini dimana kepolisian turut terlibat untuk mencegah judi dan pengaturan skor sepanjang berlangsungnya turnamen.
Masyarakat Indonesia tentunya berharap wajah sepak bola Indonesia tak lagi dirusak ulah para mafia. Bahkan seorang Mursyid Effendi pun berharap agar kasus yang menimpanya 16 tahun lalu tak terulang. "Bolehlah dulu saya dihukum sendirian. Namun sekarang tidak boleh terulang lagi. Cari dalang peristiwa sepak bola gajah ini," tutur Mursyid.
Twitter: @fernanrahadi