REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdullah Sammy
Sejumlah lembaga survei mulai mengungkap data terkait Pemilukada DKI Jakarta yang akan berlangsung pada Februari 2017. Ini data survei pertama yang dirilis setelah masyarakat di ibu kota mengetahui calon gubernurnya.
Hasilnya bisa dibilang cukup mengejutkan sekaligus memanaskan tensi persaingan. Gubernur pejawat yang selama ini selalu mendapat porsi terbesar dalam publikasi di media, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), masih menempati posisi pertama.
Ahok yang nyaris selama tiga tahun mendapat dukungan pencitraan dari sejumlah media besar dan buzzer, nyatanya tak begitu dominan. Merujuk hasil survei yang dilakukan LSI dan PolMark, elektabilitas Ahok malah merosot dari waktu ke waktu.
Tingkat elektabilitasnya memang masih di kisaran 30-an persen. Namun jumlah ini merosot tajam dari survei setahun sebelumnya. Bahkan, pada survei Maret 2016, elektabilitas Basuki nyaris 60-an persen. Angka yang berarti Ahok berpeluang dengan mudah menutup Pemilukada DKI dalam satu putaran.
Namun itu semua adalah cerita indah masa lalu bagi Basuki dan timnya. Sebab kini, roda nasib mulai berputar. Dari modal ekektabilitas 50-an persen, masyarakat yang awalnya diprediksi memilih Ahok kini memalingkan pilihannya.
Kita bisa menganalisis panjang mengenai penyebab jatuhnya elektabilitas Ahok. Namun merujuk pada kenyataan politik di Indonesia, melorotnya elektabilitas pejawat bisa disebabkan oleh sejumlah faktor.
Faktor pertama adalah soal kinerja. Ya, berbeda dengan calon yang lain, sang pejawat memang punya faktor yang bisa diukur langsung oleh calon pemilih, yakni soal kinerjanya dalam memimpin.
Faktor yang bisa menguntungkan sekaligus merugikan. Dalam konteks Ahok, perdebatan seru terjadi di kalangan pemilih untuk mengukur apakah program Ahok sebagai gubernur telah berhasil.
Dalam awal tulisan ini, saya ingin membahas lebih jauh perdebatan soal kinerja Ahok, alias Basuki ini.