REPUBLIKA.CO.ID, oleh Muhammad Hafil*
Dalam kitab Fadhilah Amal yang ditulis oleh Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandahlawi, ada satu bab yang membahas tentang pentingnya memuliakan ulama. Dalam tulisannya, Maulana Zakariyya mengingatkan bahwa dalam suatu kelompok ada yang baik dan ada yang buruk. Begitu pula di kalangan para ulama.
Namun, Maulana Zakariyya mengingatkan bahwa yang berhak menentukan ulama itu buruk atau bukan, adalah ulama lainnya. Jika ulama itu belum divonis sebagai ulama buruk, maka kita selaku umat Islam jangan sekali-kali membuat keputusan apapun terhadapnya. Jika hanya mengandalkan prasangka buruk terhadap ulama yang kita yakini itu buruk, maka itu merupakan suatu bentuk kezaliman. Menurut ajaran Islam, tulis Zakariyya, ini adalah suatu perbuatan yang sangat berbahaya.
Seorang shaleh pernah mengingatkan, jikapun ada ulama yang divonis buruk, maka kita sama sekali tidak boleh mencaci, menghina, mengolok-olok, atau bahasa kininya mem-bully ulama itu. Karena, ulama itu telah banyak menghabiskan waktunya sedari kecil untuk mempelajari, meneliti, dan menyiarkan ilmu-ilmu agama kepada umat. Bahkan, ulama itu masih melakukannya hingga saat ini. Sedangkan kita, berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk kemaslahatan agama Islam?
Belakangan ini, semakin banyak ulama yang dicaci, diolok-olok, dan di-bully oleh umatnya sendiri hanya karena berbeda pendapat dan pilihan dengan kita. Baik itu perbedaan dalam masalah hukum agama hingga masalah politik.
Sebut saja, Muhammad Zainul Majid atau yang dikenal sebagai Tuan Guru Bajang (TGB). Seorang ulama tafsir Alquran yang kuliah dari S1 hingga S3-nya di Universitas Al Azhar Mesir sekaligus umara (sebagai gubernur Nusa Tenggara Barat) yang berdasarkan pantauan penulis, banyak di-bully oleh umat Islam sendiri. Baik umat Islam yang berprofesi sebagai politikus maupun warga negara biasa. Mereka merendahkan TGB hanya karena mendukung Joko Widodo (Jokowi) untuk melanjutkan kepemimpinannya sebagai presiden untuk dua periode.TGB pun mengakui hal itu sendiri.
"Dan saya mempertanggungjawabkan itu, pasti ada risikonya seperti sekarang banyak bully dari mana-mana," kata TGB (Republika.co.id, Jumat 27 Juli 2018).
Penelusuran penulis di media sosial dan komentar-komentar netizen di dunia maya, mereka menyebut-nyebut TGB sebagai ulama yang gila kekuasaan, ulama yang tak berpihak kepada kelompok Islam, dan bahkan ada yang menyinggung soal urusan pribadi rumah tangga TGB.
Padahal, menurut penulis, tak ada yang salah dengan TGB dengan dukungannya itu. Secara hukum konstitusi, setiap warga negara berhak untuk berpolitik baik itu memilih maupun dipilih, kecuali haknya itu dicabut oleh pengadilan sebagaimana yang terjadi terhadap para koruptor. Dan perlu diingat, Indonesia adalah sebuah negara demokrasi yang memberikan kebebasan dalam berpendapat secara politik. Di mana salahnya?
Jika merujuk kepada pesan Maulana Zakariyya di awal tadi, tak ada ulama yang memvonis bahwa TGB adalah ulama buruk. Jadi, mengapa kita umat Islam harus mem bully TGB?
Tidak hanya TGB, Ustaz Abdul Somad yang bergelar Datuk Seri Ulama Setia Negara pun tak luput dari cacian dan bully yang datang dari kalangan umat Islam sendiri. Hanya karena, dalam beberapa ceramahnya sang ustaz kerap menyarankan agar umat Islam memilih seorang pemimpin yang peduli kepada Islam.
"Pilih pemimpin politik yang peduli Islam, kalau umat Islam tak peduli politik, nanti akan dipimpin oleh politikus-politukus yang tak peduli oleh Islam," kata Abdul Somad dalam sebuah ceramahnya.
Gara-gara ceramahnya ini, ustaz lulusan S1 dan S2 bidang hadist di Mesir dan Maroko ini pun kerap dituding sebagai ustaz radikal. Ustaz yang anti pada Pancasila dan NKRI.
Padahal, tak ada yang salah juga jika seorang ustaz mengajak jamaahnya untuk memilih pemimpin yang memberikan manfaat bagi umat dan agamanya. Ini juga tak dilarang dalam demokrasi.
Namun, hingga saat ini masih ada sebagian umat Islam yang mencerca Ustaz Abdul Somad. Bahkan, melalui kelompoknya, mereka meminta kepolisian untuk melarang ceramah Ustaz Somad karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai keindonesiaan.
Padahal jelas, dalam berbagai klarifikasinya dan aksinya, Ustaz Abdul Somad sangat mencintai NKRI dan Indonesia. Dia menyebut umat non muslim juga adalah saudaranya, yaitu saudara sesama bangsa Indonesia.
Inilah yang penulis risaukan tentang adab kita selaku umat Islam kepada para ulama. Padahal, mereka telah banyak berjasa bagi perkembangan Islam di Indonesia. Namun, jika mereka berbeda pendapat dengan kita, langsung kita mencercanya.
Dalam hal ini, penulis teringat kata-kata dari tokoh Muhammadiyah yang menjadi wakil ketua umum MUI dan ketua PP Muhammadiyah, Prof Yunahar Ilyas. "Kalau setuju dipuji-puji, kalau berbeda langsung dimaki-maki. Itu namanya bukan menghormati ulama, tapi memanfaatkan ulama."
*) Penulis adalah redaktur republika.co.id