REPUBLIKA.CO.ID, oleh Muhammad Hafil*
"Enak jadi PNS, dipecatnya susah. Paling kalau salah dimutasi."
Begitu kalimat yang sering saya dengar sekitar belasan tahun lalu dari orang-orang. Bagi mereka, kata-kata itu sedikit banyaknya memengaruhi motivasi mereka untuk menjadi PNS saat itu.
Idealnya, kata-kata dalam kalimat itu salah. Karena, sudah ada peraturan bahwa PNS yang bersalah khususnya yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi terkait jabatannya bisa dipecat, bahkan dengan tidak hormat.
Berdasarkan pasal 87 ayat (4) huruf b UU No 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) disebutkan, PNS yang telah divonis bersalah dan dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana korupsi diberhentikan tidak dengan hormat.
Dasar hukum lainnya, dalam Keputusan Bersama Mendagri, Menteri PANRB, dan Kepala BKN tertanggal 13 September 2018, dengan nomor 182/6597/SJ, Nomor 15 Tahun 2018, dan Nomor 153/KEP/2018 tentang Penegakan Hukum Terhadap PNS Yang Telah Dijatuhi Hukuman Berdasarkan Putusan Pengadilan Yang Berkekuatan Hukum Tetap Karena Melakukan Tindak Pidana Jabatan atau Tindak Pidana Kejahatan Yang Ada Hubungannya dengan Jabatan. Menurut Keputusan Bersama itu, penjatuhan sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat sebagai PNS oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dan Pejabat Yang Berwenang (PYB).
Namun pada kenyataannya, ribuan PNS yang telah terbukti korupsi dan telah berkekuatan hukum tetap, belum dipecat. Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN), jumlah PNS korupsi dari instansi pemerintahan pusat dan daerah mencapai 2.357 orang. Namun, yang sudah dipecat baru 891 orang. Artinya, masih ada 1.466 orang PNS korupsi yang masih dipecat. Berdasarkan target, seharusnya mereka sudah dipecat semua pada akhir 2018 lalu.
Mereka yang belum dipecat itu, masih mendapatkan gaji dari negara. Ini artinya, mereka sudah merugikan negara dua kali. Yaitu, merugikan negara karena tindak pidana korupsinya dan merugikan negara karena mereka yang sudah tidak produktif itu masih diberi gaji.
Menurut BKN, salah satu alasan yang membuat para PNS koruptor itu belum dipecat, adalah adanya rasa kasihan dari PPK terhadap PNS yang koruptor itu. Yaitu, dengan alasan kemanusiaan. Padahal, jika dilihat dari perbuatan tindak pidana korupsinya, PNS koruptor itu tidak memiliki kasihan terhadap dampak dari perbuatan korupsinya. Yaitu, menyebabkan orang menjadi miskin, pembangunan tidak lancar, dan sebagainya.
Fakta tersebut kembali mengingatkan tentang kalimat di atas yaitu "Enak jadi PNS, dipecatnya susah. Paling kalau salah dimutasi."
Belum lagi, jika melihat adanya kejadian di Pemerintah Kota Batam, Kepulauan Riau. Di mana, berdasarkan surat edaran dari Pemkot Batam kepada seluruh ASN/PNS, mereka diminta urunan dana untuk meringankan denda seorang PNS koruptor agar hukumannya tidak diperberat.
Seharusnya, dari pemerintah pusat, dalam hal ini BKN maupun Kemenpan RB, maupun para PPK baik di pusat maupun di daerah, harus lebih tegas menindak para PNS koruptor ini. Mereka harus tunduk pada peraturan perundang-undangan untuk memecat para PNS koruptor yang telah berkekuatan hukum tetap.
Jika pemecatan tidak dilakukan, maka tak akan memunculkan efek jera. Para PNS lainnya bisa saja tergoda dan berpikiran untuk melakukan korupsi karena setelah dihukum, mereka masih bisa berstatus PNS dan tetap merasakan gaji dari negara. Padahal, atas perbuatan korupsinya, mereka telah merugikan orang banyak dan mereka telah memperkaya dirinya sendiri.
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id