REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Reiny Dwinanda*
Ada hal menarik yang bisa dicermati di balik gugatan 31 warga Jakarta terhadap gubernur tiga provinsi (DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten), sejumlah menteri, dan presiden soal udara bersih. Tuntutan itu dilayangkan setelah hasil pemantauan Airvisual pada 25 Juni menunjukkan kualitas udara Jakarta terburuk di dunia. Hari itu pada pukul 08.00 WIB, nilai Air Quality Index (AQI) Jakarta tercatat 240 dengan konsentrasi PM 2.5 sebesar 189.9 ug/m3. Artinya, udara Jakarta sangat tidak sehat. Sementara itu, pada Sabtu (13/7) sore pukul 16. 00 WIB, kondisinya belum berubah secara signifikan. Situs Airvisual memperlihatkan udara Jakarta masih tak sehat.
Indeks Kualitas Udara atau AQI berdasarkan standar Amerika Serikat menunjukkan angka 178 dengan PM 2.5 mencapai 108,4 mikrogram per meter kubik. Masyarakat pun diserukan untuk mengenakan masker saat beraktivitas di luar ruang.
Airvisual memang menggunakan standar Amerika Serikat dengan parameter PM 2.5 atau partikel halus di udara yang berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron (mikrometer). Sementara itu, Indonesia memakai parameter partikel debu berukuran 10 mikron (PM 10).
Menggunakan parameter yang berbeda, hasil pemantauan Pemprov DKI Jakarta tentu berbeda dengan Airvisual. Tetapi, ada catatan penting yang bisa disimak mengenai sumber pencemaran udara. Greenpeace dan Pemprov DKI Jakarta kompak menyebut sumber pencemaran didominasi sektor transportasi darat. Berikutnya, secara acak disebut juga industri dan debu akibat kegiatan proyek pembangunan fisik.
Pembangkit listrik tenaga uap batu bara juga disebut Greenpeace berkontribusi terhadap pencemaran udara Jakarta. Tudingan itu kemudian dibantah PLN.
Soal sejauh mana pemerintah bertindak, itu pastinya bisa diperdebatkan. Demikian juga dengan nomor urut sumber pencetus polusi. Yang jelas, kabut polusi di Jakarta dan sekitarnya bisa terlihat dengan mata telanjang. Kondisi saat ini tentu tak bisa berubah semudah menjentikkan jari. Apalagi, pepohonan yang menjadi penyerap polusi terbaik banyak terpangkas beberapa tahun terakhir. Entah berapa banyak pohon yang telah ditebang di jalur pembangunan tol Becakayu, elevated toll road, kereta cepat Jakarta-Bandung, LRT Jabodebek, LRT Jakarta, dan MRT Jakarta. Adakah rimbunnya pepohonan itu telah tergantikan di tempat lain?
Tak perlu mengutuk pembangunan yang manfaatnya telah atau kelak akan kita rasakan. Yang penting adalah menjamin pembangunan itu tetap diimbangi dengan upaya menjaga keseimbangan alam. Pembangunan berwawasan lingkungan, istilahnya. Namun, menanam pohon atau memperbanyak serta menjaga ruang terbuka hijau saja tidak cukup untuk memperbaiki udara Jakarta. Apalagi, polutan yang diserap pohon hanyalah karbondioksida (CO2), sementara sulfur (SOx) dan karbonmonoksida (CO) tetap berterbangan di udara.
Agar kabut polusi tak tambah pekat, sumber pencemaran udara harus ditekan. Perlu ada gerakan yang massif terhadap penggunaan kendaraan bermotor yang disebut menyumbang 75 persen polutan. Ketika ada 20 juta kendaraan setiap hari melintasi jalanan di Ibu Kota, apa yang bisa kita harapkan dari udara Jakarta? Saban hari, ada 13,3 unit sepeda motor, 4,7 juta kendaraan khusus,dan 3,5 juta mobil berjubel masuk ke Jakarta.
Saya jadi teringat perjalanan dengan mobil travel dari Bandung, Jawa Barat ke Jakarta pada pekan lalu. Sepanjang tol Cipularang, di sisi kanan dan kiri jalan secara acak tampak cerobong pabrik yang mengembuskan asap hitam, asap dari jerami yang dibakar, dan juga asap dari tumpukan sampah yang juga dibakar.
Tetapi bukan cuma itu yang membuat udara tampak berselimutkan kabut asap. Padatnya kendaraan yang lalu-lalang turut jadi biang keladinya. Entah baru berapa yang sudah menjalani uji emisi.
Bicara penanganan polusi, lagu 'Man in the Mirror' Michael Jackson sepertinya sangat menyentil. Lewat lagu itu, Michael bilang, "I'm starting with the man in the mirror. I'm asking him to change his ways. And no message could have been any clearer, if you wanna make the world a better place, take a look at yourself and then make a change." Ya, kalau ingin situasi berubah, mulailah dari diri sendiri. Kebiasaan apa yang bisa kita ubah untuk mengurangi polusi udara?
Memang tak mudah untuk beralih ke transportasi umum. Tapi, kita butuh partisipasi banyak orang yang mau meninggalkan motor dan mobilnya dan mulai naik angkot, Transjakarta, kereta, MRT, bus, atau metromini/kopaja demi udara yang lebih segar untuk kenyamanan dan kesehatan bersama. Berani berubah?
*) penulis adalah redaktur republika.co.id