REPUBLIKA.CO.ID, oleh Esthi Maharani*
Beberapa lalu, jagad dunia maya diramaikan dengan tanda pagar #lulusanui dan #gaji8juta. Tagar ini wara wiri di lini masa beberapa hari bahkan sempat menduduki puncak trending topic. Sedikit mengingatkan, tagar tersebut muncul akibat curhatan seorang mahasiswa lulusan UI yang enggan digaji Rp 8 juta di perusahaan lokal. Ia merasa sebagai fresh graduate dari UI perlu mendapatkan gaji yang lebih dari itu.
Jadi tadi gue di undang interview kerja perusahaan local. Dan nawarin gaji kisaran 8 juta doang. Hellooo meskipun gue fresh graduate gue lulusan UI Pak!! Universitas Indonesia. Jangan disamain ama fresh graduate kampus lain dong ah…. Level UI mah udah perusahaan LN, kalo lokal mah oke aja asal harga cucok.
Tak perlu waktu lama, curhatan ini pun memincu antipati dan menjadi viral di media sosial. UI juga langsung merespons isu tersebut. UI memberikan data berupa tracer study dari Career Development Center (CDC) yang merupakan wadah pengembangan karir dan softskill mahasiswa serta alumni. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh @cdc.ui tahun 2018 kepada 230 institusi pengguna lulusan UI, ini hasil yang diperoleh.
Kepuasan terhadap kinerja lulusan UI (83% puas) dan (17% tidak puas). Lulusan UI memiliki daya saing lebih baik dibanding lulusan non-UI (83,4% ya lebih baik) dan (16,8% tidak). Rata-rata masa tunggu lulusan UI memperoleh pekerjaan pertama adalah 3 bulan.
Berdasarkan tracer study tahun 2018 kepada 2.735 lulusan S1 UI diketahi 60% lulusan UI bekerja di swasta, 35% BUMN, dan 5% wirausaha. Dari survey yang sama, keunggulan lulusan UI adalah cepat mengerti, dapat beradaptasi dengan baik, menguasai pengetahuan dalam bidang kerja, memiliki kemauan belajar, dapat bekerja sama dengan tim, dan penuh inisiatif.
“So guys, mahasiswa UI dimanapun kelak kamu berkarya, di perusahaan local, perusahaan LN, atau jadi pengusaha pencetak lapangan kerja, jangan lupa tetap perkaya diri dengan ilmu dan selalu rendah hati,” begitu kalimat pamungkas dari UI.
Dari isu tersebut, saya ingin menggarisbawahi dua hal. Pertama terkait kultur dan atmosfer di UI. Kedua, wajarkah permintaan gaji Rp 8 juta/bulan untuk fresh graduate. Bagi saya, berkesempatan untuk mencicipi bangku kuliah di UGM dan UI memberikan saya gambaran bahwa betapa berbedanya kultur dan atmosfer kedua kampus ini. Yang saya pahami, kepercayaan diri mahasiswa UI memang luar biasa.
Waktu kuliah di UGM, saya sering mendengar lelucon tentang mahasiswa UGM yang duduk paling belakang apabila ada seminar atau acara besar. Mahasiswa UGM minderan katanya. Kalau ditanya kuliah dimana, seringkali mahasiswa UGM (atau setidaknya saya) tidak mengaku. Paling cuma bilang kuliah di Jogja. Kalau ada hasrat ingin sombong, ada saja yang mengingatkan. Misalnya, Njuk ngopo kuliah di UGM? Yang artinya kira-kira: terus kenapa kalau kuliah di UGM? Atau kalimat lainnya seperti: halah, cuma UGM doang atau semuanya berproses di UGM.
Lalu di UI, auranya jauh berbeda tentu saja. Yang saya rasakan pertama kali adalah kepercayaan diri para mahasiswanya dan betapa mereka sangat bangga menjadi keluarga UI. Ketika ada seminar, mahasiswa UI duduk paling depan dan tak sungkan bertanya walau pertanyaannya gitu doang. Pernyataan yang sering saya dengar dari teman-teman di UI adalah: see you on top dan kita tuh anak UI! Jujur saja, terkadang, saya tidak bisa membedakan antara percaya diri, bangga, atau congkak dan sombong luar biasa. Ups.
Lalu mengenai gaji Rp 8 juta/bulan, saya rasa wajar dan sah-sah saja. Tapi memangnya ada perusahaan yang berani memberikan gaji sebesar itu untuk anak baru? Sejatinya, gaji awal Rp 8 juta untuk orang yang baru wisuda S1 adalah sebuah angka yang sudah cukup tinggi. Belum banyak perusahaan atau instansi di Indonesia yang sanggup memberikan gaji awal fresh graduate sebesar itu. Sebagian besar perusahaan di Indonesia bahkan hanya sanggup memberikan gaji awal Rp3-4 juta untuk lulusan baru.
Secara logis, permintaan Rp.8 juta/bulan memang wajar dan sah-sah saja. Apalagi UMK di Jakarta sekitar Rp 4 juta yang para pekerjanya didominasi lulusan SMA atau SMK. Jadi, sudah selayaknya lulusan S1 bisa mendapatkan gaji lebih besar dari itu atau dua kali lipat. Kalau disamakan, bisa jadi justru merendahkan nilai jual lulusan S1.
Yang perlu diingat, besaran gaji tidak dihitung berdasarkan perhitungan logis tersebut. Yang menentukan adalah supply dan demand. Jadi, kalau lulusan S1 belum bisa dapat gaji Rp 8 juta/bulan ya alasannya sederhana: karena permintaan pasar lebih rendah daripada pasokan.
Tapi di atas semua itu, yang terpenting bagi saya bukan lulusan mana atau gaji berapa, melainkan perilaku dan karakternya. Untuk dapat bersaing di dunia profesional, bukan hanya memerlukan kemampuan akademik yang tinggi, melainkan juga keahlian dan karakter yang baik. Saya percaya, dengan berperilaku baik, bisa bekerja dengan baik, maka rezeki akan mengikuti dengan sendirinya dan dengan cara yang tak terduga serta beragam bentuknya.
*) Penulis adalah redaktur republika.co.id