REPUBLIKA.CO.ID, oleh Gita Amanda*
Gunjang ganjing mengenai kenaikan iuran peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan jadi topik hangat dalam beberapa waktu terakhir. Mulai dari ibu-ibu di tukang sayur sampai karyawan kantoran, ramai membicarakannya. Mayoritas tentu merasa keberatan.
Bukan hanya dari anggota BPJS di kelas 2 atau 3, mereka yang memilih kelas 1 bahkan lebih kencang teriak. Bayangkan saja iuran harus naik 100 persen atau dua kali lipat dari apa yang harus dibayarkan setiap bulan. Siapa yang tidak teriak? Wong harga BBM naik Rp 100-200 perak saja kita sudah ribut, Nah ini naik seratus persen.
Tapi sebelum membahas soal kenaikan harga, yang pastinya juga sudah banyak dibahas oleh berbagai platform media, mari lihat sejenak ke belakang. Program BPJS Kesehatan kali pertama digagas di era kepemimpinan Joko Widodo. Di awal masa kampanyenya, 2014 lalu, Jokowi menawarkan program jaminan kesehatan yang bisa diakses dan menjangkau semua lapisan masyarakat.
Ide awalnya mulia, sebab model iuran BPJS Kesehatan ini layaknya subsidi silang di sekolah. Masyarakat yang dianggap lebih mampu akan membantu biaya kesehatan mereka yang kurang mampu. Mulia bukan? Dan tampak sederhana.
Tapi pada kenyataannya, ide BPJS Kesehatan tak sesederhana itu. Hanya dalam waktu kurang dari lima tahun, BPJS Kesehatan sudah punya utang atau istilahnya defisit dengan nominal yang luar biasa. Ini tentu sangat memusingkan bagi pemerintah khususnya Menteri Keuangan. Si Bendahara Negara ini mau tak mau harus ikut berpikir keras melunasi utang yang mencapai nilai kurang lebih Rp 28 triliun.
Segala cara diupayakan, mulai dari penggunaan APBN untuk "menalangi" utang kepada rumah sakit, hingga yang lagi ramai saat ini mengenai rencana penaikan iuran. Sebenarnya sah-sah saja jika pemerintah berencana menaikan iuran BPJS Kesehatan.
Tapi... lagi-lagi tapi, banyak aspek yang harus dipertimbangkan. Lagi pula menaikkan iuran BPJS rasanya juga bukan solusi paten untuk masalah defisit BPJS Kesehatan tersebut.
Mengapa bukan solusi paten? Karena masalah BPJS bukan sekadar soal iuran dan lagi-lagi enggak sesederhana itu. Pertama, berdasarkan data per April 2018 peserta Jaminan Kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), yang menaungi BPJS ini, ada sekitar kurang lebih 196 juta jiwa. Itu angka tahun lalu, tahun ini tentu bertambah.
Dari taruhlah 196 juta jiwa itu, lagi-lagi berdasarkan data tahun lalu, ada sekitar 92-93 jiwa yang tercatat sebagai anggota Penerima Bantuan Iuran (PBI) alias yang tidak bayar iuran BPJS Kesehatan sama sekali setiap bulannya. Awalnya PBI ini menurut laman BPJS diperuntukkan untuk fakir miskin.
Jika merujuk pada Wikipedia, fakir miskin adalah orang-orang yang amat sengsara hidupnya. Nah, dari definisi itu saja sudah sangat abstrak. Siapa yang digolongkan fakir miskin hingga bisa menerima PBI? Praktiknya di lapangan lebih abstrak lagi. Kontrol terhadap masyarakat-masyarakat yang masuk kategori fakir miskin penerima PBI tentu sangat sulit dilakukan.
Ini kisah nyata, banyak peserta PBI yang sebenarnya dari segi kelayakan hidup masih termasuk masyarakat mampu. Kisah-kisah macam ini tentu bukan satu dua. Ketepatan sasaran penerima PBI ini jadi tanda tanya besar. Sudah tepatkah selama ini orang-orangnya?
Padahal, kalau 92 juta penerima PBI itu dibebankan iuran. Tidak usah besar-besar seharga satu bungkus rokok saja sehari, sekitar Rp.15 ribu misalnya. Dalam 1 bulan ia harus bayar Rp.15 ribu iuran. Sudah ada pemasukan sebesar kurang lebih Rp 138 juta per bulan.
Kembali ke soal kenaikan, sebenarnya sah-sah saja menaikkan iuran. Tapi apa sudah tepat jika langsung dinaikkan 100 persen? Bayangkan para peserta di kelas 1 dan 2 tentu akan sangat keberatan. Iuran BPJS mereka bisa mencapai Rp 110-160 ribu per bulan.
Dalam satu keluarga biasanya minimal ada dua orang peserta BPJS Kesehatan. Jadi setiap bulan keluarga peserta BPJS kelas 1 dengan dua anggota keluarga saja harus membayar sekitar Rp 320 ribu. Padahal biasanya para peserta kelas 1 ini seringkali sudah punya asuransi swasta juga. Jadi keanggotaan BPJS mereka kerap hanya sebagai ''cadangan''.
Dengan kenaikan iuran 100 persen ini, ada dua pilihan nantinya. Bisa jadi peserta kelas 1 atau 2 ini menurunkan kelas kepesertaan mereka. Atau bahkan berhenti dari keanggotaan BPJS Kesehatan. Kalau banyak peserta kelas 1 atau 2 yang kemudian memilih berhenti akan lebih berkurang lagi pemasukan pemerintah untuk program BPJS Kesehatan tentunya.
Kemudian yang juga tidak kalah penting soal pelayanan. Apakah dengan dinaikannya iuran sudah dijamin pelayanan rumah sakit atau fasilitas kesehatan (faskes) yang jadi rujukan peserta BPJS juga akan meningkat? Sebab selama ini, umumnya peserta BPJS Kesehatan kurang dipandang saat berobat.
Mereka yang membayar iuran kelas 1 maupun penerima bantuan iuran akan sama-sama mengalami antrean panjang untuk berobat. Akan sama-sama menjalani serangkaian prosedur sebelum bertemu dokter. Bahkan jokes yang beredar, kalau ingin tak lama-lama dirawat di rumah sakit pakai BPJS Kesehatan. Sebab biasanya akan lebih cepat disuruh pulang pihak rumah sakit.
Jadi bagaimana? Apa kenaikan iuran BPJS Kesehatan merupakan solusi tepat mengatasi permasalahan yang menjerat BPJS? Tepat, asalkan dibarengi dengan pembenahan menyeluruh dari segala aspek yang tadi disebutkan bukan sekadar menaikkan lalu lepas tangan.
*) Penulis adalah jurnalis Republika.co.id