REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Mohammad Akbar (Instagram @akbar_akb2909)
Redaktur Republika
Dalam bukunya, Franklin Foer, menulis bahwa sepak bola bukan sekadar olahraga. Ia menjadikan sepak bola sebagai pisau untuk membedah beragam dan seluk beluk persoalan dunia kontemporer.
Foer mungkin tak pernah singgah ke Indonesia. Tapi, biarlah premis dari penulis buku 'Memahami Dunia Lewat Sepak Bola' itu dipinjam untuk menelaah betapa suramnya potret sepak bola Indonesia.
Rasanya, sungguh gemas ketika melihat performa timnas Indonesia kala berjuang pada babak kualifikasi Piala Dunia 2022 zona Asia. Empat kali bermain, empat kali kalah plus catatan 14 gol kebobolan. Sungguh aib yang sulit untuk dilupakan buat generasi penerus berikutnya.
Tapi, apakah kegagalan itu menjadi semata-mata milik sebelas pemain di lapangan plus pelatih Simon McMenemy? Penulis sepakat bahwa kegagalan skuat Garuda itu bukanlah kesalahan milik mereka semua. Ada banyak faktor yang membuat mereka menjadi miskin prestasi.
Berangkat dari premis Foer di awal, maka kegagalan timnas Merah Putih itu sesungguhnya bisa dilihat sebagai puncak gunung es atas masih bertaburannya persoalan sosial, politik, dan ekonomi yang mendera negeri ini. Hingga kini, kita masih senang digaduhkan oleh persoalan perbedaan pandangan yang bersifat SARA. Seakan, kita semua lebih senang mengedepankan perbedaan ketimbang harus bersinergi dalam perbedaan.
Energi pun seakan terkuras habis hanya untuk mengurusi perbedaan-perbedaan yang ada. Bahkan, sebagai sebuah bangsa yang berdiri di atas dasar kebhinekaan, kita ternyata sudah lupa untuk kembali bergotong royong dan saling berempati pada sesama. Contoh itu begitu telanjang.
Tengoklah timeline yang ada di sosial media. Rasanya, hati ini menggemuk karena menahan amarah saat menyaksikan diantara kita saling menghujat, mencaci, dan curiga atas beragam persoalan kebangsaan. Ah, Indonesiaku sepertinya sudah tercerabut dari akar yang digagas para founding father negeri ini.
Lantas, apa hubungannya dengan kegagalan timnas Indonesia di ajang kualifikasi Piala Dunia 2022 zona Asia? Sebagaimana halnya Foer mengulas, sepak bola sesungguhnya bisa menjadi miniatur untuk melihat dinamika persoalan sebuah bangsa.
Paling tidak, prestasi sepak bola Indonesia yang belakangan ini terus melorot boleh jadi karena seluruh penghuni negeri ini memang sudah lupa untuk meng-upgrade soft skill menghadapi persaingan yang semakin global. Berkaca dari laporan Global Competitiveness Report 2019 yang dirilis World Economic Forum (WEF), daya saing Indonesia terlihat masih kalah jauh dari Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Mengapa hal itu dapat terjadi? Boleh jadi, karena kita lebih senang bergaduh ria dengan mengedepankan perbedaan, ketimbang mencari titik persamaan untuk membangun daya saing. Kondisi itu pun tercermin ketika Evan Dimas dan kawan-kawan terlihat tidak mampu membangun soliditas antarlini di lapangan hijau.
Ah, terkesan berlebihan. Tapi itulah fakta yang terlihat saat menyaksikan permainan timnas yang miskin koordinasi antarpemain serta lemahnya fisik yang membuatnya tak mampu bersaing. Tak heran jika seorang mantan pemain timnas Vietnam, Van Sy Hung, menyebut penampilan Indonesia layaknya pemain amatir yang berseragam timnas.
Lalu, masalah kegagalan timnas ini dapat pula dilihat dari persoalan yang masih mendera di tubuh induk organisasi sepak bola Indonesia, PSSI. Sejak ditinggal Edy Rahmayadi yang memilih menjadi Gubernur Sumatera Utara, PSSI — sebagaimana pernah diilustrasikan mantan Presiden FIFA Sepp Blatter — bagaikan ayam tanpa kepala. Hingga kini, PSSI hanya dipimpin oleh seorang pelaksana tugas, bukan ketua umum yang sesungguhnya.
Bahkan, jelang pemilihan ketua umum PSSI pada November nanti, suara-suara sumbang seperti adanya dugaan money politic, masih saja berseliweran. Tentunya, masalah semacam ini kelak menjadi beban.
Tak berlebihan jika kemudian muncul anggapan bahwa buanglah harapan untuk menyaksikan prestasi sepak bola Indonesia itu akan bisa lebih baik. Mengapa? Di saat kita masih senang gaduh karena perbedaan dan pemimpinnya masih belum amanah, rasanya sulit untuk sekadar bermimpi kalau timnas Indonesia akan bisa tampil di Piala Dunia. Anda setuju?