REPUBLIKA.CO.ID, oleh Christiyaningsih*
Kebakaran hutan terjadi selama berbulan-bulan. Asap menyelimuti dan menyebar hingga pulau seberang. Tapi ini bukan kebakaran di Sumatra atau Kalimantan seperti yang biasa kita dengar.
Kobaran api itu bersumber dari Australia. Sejak September tahun lalu sampai saat ini, negara pimpinan Scott Morrison itu tengah berjibaku melawan kebakaran hutan hebat. Ribuan rumah dilalap api dan miliaran satwa mati.
Dikutip dari Reuters, kebakaran hutan di Australia sudah menghancurkan lebih dari 10,3 juta hektare lahan. Luas kerusakan akibat bencana ini setara dengan ukuran Korea Selatan. Asapnya telah merambat hingga Selandia Baru dan Cile.
Zoe Salucci Mcdermott, warga Australia yang menjadi korban kebakaran ogah bersalaman dengan Perdana Menteri Scott Morrison sampai ia memberi lebih banyak bantuan untuk RFS (pemadam kebakaran). Sebelumnya, seorang anggota pemadam kebakaran pun menolak jabat tangan Morrison. Momen memalukan itu terjadi saat sang perdana menteri berkunjung ke Kota Cobargo, New South Wales pada 2 Januari silam.
Morrison sampai harus mengambil tangan wanita tersebut agar mau bersalaman. Warga setempat meneriaki Morrison dengan berbagai umpatan karena dipandang lamban dalam menangani kebakaran hutan. Cuplikan video berdurasi 1 menit 24 detik itu pun beredar luas.
Sebelum Natal, pemimpin Partai Liberal ini juga sempat panen kritikan. Sebabnya, ia malah terbang ke Hawaii untuk berlibur bersama keluarga di tengah kobaran api yang melalap hutan-hutan Australia.
Dahsyatnya efek yang ditimbulkan akibat kebakaran dan keberadaan pemimpin dengan sensitivitas yang rendah memang bikin gemas. Apalagi Morrison juga selalu membela diri tiap dikritik termasuk menuding kekeringan panjang sebagai biang keladi kebakaran hutan.
Citra Morrison melorot dan tecermin lewat survei teranyar Newspoll. Survei menunjukkan popularitas Scott Morrison turun ke level terendah akibat kebakaran hutan.
Kita berharap di Indonesia, negeri yang rawan berbagai bencana ini, jangan ada pemimpin yang tak tanggap bencana dan tidak sensitif. Belajarlah dari kejadian di Cobargo. Era pencitraan dengan cara datang ke lokasi bencana, turun tangan sambil bantu-bantu warga sebentar, dan foto-foto di akhir kunjungan lebih baik disudahi.
Akan jauh lebih bermanfaat apabila seorang pemimpin bersikap antisipatif. Di musim kemarau, persiapkan segala kemungkinan untuk mitigasi bencana di musim hujan. Begitu pula sebaliknya. Tak usah repot-repot membangun citra, kesan baik akan tercipta dengan sendirinya.
Andai wilayahnya rentan gempa, persiapkan warga agar tahu harus bagaimana ketika gempa datang. Buatlah program latihan evakuasi gempa secara rutin yang menyasar seluruh lapisan masyarakat. Syukur-syukur memperbanyak bangunan dengan konstruksi tahan gempa.
Namun, sudah berapa banyakkah pemimpin yang demikian di Tanah Air? Apakah kita perlu meniru cara Zoe agar para pemimpin menyadari kealpaanya?
* penulis adalah redaktur republika.co.id