REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
Sabtu pekan lalu (7/7) saya mengikuti pertemuan alumni Al-Azhar Internasional cabang Indonesia di Hotel Mandarin, Jakarta. Pertemuan itu dibungkus dengan nama “ Al Multaqo al- Tsani li khirriji Al Azhar bi Indonesia”. Atau, tepatnya pertemuan kedua para sarjana lndonesia lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Pesertanya sekitar 300 orang. Mereka merupakan perwakilan lulusan Al-Azhar dari berbagai daerah di Indonesia.
Dari Al-Azhar, hadir Wakil Mufti Besar Mesir Prof Dr Mohammad Anwar Salabi, Wakil Rektor Universitas Al-Azhar Prof Dr Hasan Awad, dan Duta Besar Mesir untuk Indonesia, Ahmed El Kewaisny. Pertemuan dibuka oleh Menteri Agama Suryadharma Ali. Pertemuan dua hari itu bertujuan antara lain untuk merumuskan konsep moderasi (wasathiyah) Islam. Sebuah sikap yang diyakini bisa menjadi solusi dalam menyikapi kecenderungan sikap keberagamaan yang ekstrem di masyarakat. Bahasa Arabnya ghuluwwatau tasyaddud atau tanaththu, baik ekstrem yang literal-radikal maupun yang liberal.
Tujuan lain pertemuan adalah untuk mewujudkan persatuan dan kerukunan umat Islam di tengah keberagamaan dan perbedaan yang berkembang saat ini. Yaitu, dengan jalan dialog dan mengembangkan sikap mo derat dan toleran. Berikutnya adalah meneguhkan posisi Al-Azhar dan para alumninya sebagai benteng umat Islam dalam memperjuangkan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Islam sebagai agama yang memberi kebaikan kepada seluruh umat manusia.
Ini sesuai dengan tema pertemuan “ Minal wasathi yah ilal khoiriyah: muhawa lah lirosmi ma alimil wa s ti yah al Islam libina-i khoiri ummah ukhrijat linnasi”. Sikap moderat untuk kebaikan: sebuah upaya mencari konsep moderasi Islam untuk membangun sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia. Atau dengan kata lain, pertemuan para sarjana Universitas Al-Azhar tersebut membawa misi tolak bala. Yaitu, bagaimana menolak atau menghindarkan dan melindungi umat Islam dari berbagai mara bahaya.
Terutama, yang diakibatkan oleh munculnya segala sikap ekstrem dalam beragama. Memang, perbedaan dan keberagamaan merupakan ketetapan Tuhan (sunatullah) yang menjadikan kehidupan penuh warna dan warni. Ter masuk sikap, pandangan, keyakinan, dan pe rilaku. “Jikalau Tuhanmu menghendaki, ten tu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka selalu berselisih pendapat.” (QS Hud: 118).
Bahkan, keragaman pandangan keagamaan juga merupakan cermin bagi dinamika intelektualitas dan rasionalitas Islam sebagai agama yang bersifat universal dan responsif terhadap perkembangan. Keberadaan ragam aliran dan paham keagamaan justru akan memperkaya khazanah peradaban Islam. De ngan berbagai alternatif pemikiran tadi, pada gilirannya akan memberikan kemudahan dan pilihan bagi umat dalam beragama. Dalam konteks ini, Al-Azhar berpandangan, perbedaan dapat menjadi rahmat.
Namun, perbedaan tadi bisa justru menjadi bala, manakala dibawa ke ranah yang sempit de ngan balutan fanatisme yang berlebihan. Akibatnya, akan muncul sikap saling membid’ahkan, saling menganggap yang lain sesat ( tadhlil), merasa saling benar, dan mengafirkan pihak-pihak lain (takfir).
Hal-hal seperti ini tentu bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga berlangsung di dunia Islam pada umumnya. Bahkan, di negara negara Barat telah lama muncul apa yang dinamakan sebagai Islamofobia, ketakutan pada Islam secara berlebihan. Sebuah ketakutan yang kemudian menjadi kebencian secara ber lebihan pula. Terutama sejak terjadinya serangan terhadap menara kembar World Trade Center di New York, Amerika Serikat, pada 11 September 2001. Disusul serangkaian serangan bom lainnya di beberapa negara, termasuk di Indonesia.
Melihat perkembangan Islam yang seperti itulah kemudian Al-Azhar pusat di Kairo, yang telah lama menjadi benteng Ahlus Sunnah wal Jamaah, segera mengambil tindakan. Antara lain membuka dialog dengan berbagai pihak untuk mempromosikan moderasi Islam, mempromosikan Islam sebagai agama yang moderat, toleran, dan rahmatan lil alamin. Juga membentuk Ikatan Alumni Al-Azhar Internasional yang kini jumlahnya puluhan ribu yang tersebar di berbagai negara.
Ikatan ini diketuai langsung oleh Syekh Al-Azhar, Prof Dr Ahmad Mohammad Tayyib. Selanjutnya, alumni di masing-masing negara membentuk cabang-cabang, termasuk di Indonesia. Di Indonesia sendiri kini tercatat jumlah alumni Al- Azhar tidak kurang dari 3.200 orang. Mereka lulusan dari 1963 hingga sekarang dan tersebar di berbagai daerah. Mereka pada umumnya adalah tokoh-tokoh masyarakat.
Para lulusan Al-Azhar tersebut ada yang jadi menteri, gubernur, wali kota/bupati, ang gota parlemen, imam masjid agung, pimpinan MUI, kiai, ustaz, wartawan, dan seterusnya. Bah kan, seorang alumnusnya pernah menjabat se bagai presiden RI, yaitu KH Abdurrahman Wahid. Sedangkan, yang masih belajar di Al- Azhar kini jumlahnya lebih dari 4.000 mahasiswa. Yang perlu dicatat, hampir semua alumni Al-Azhar adalah tokoh-tokoh yang mem bawa misi Islam moderat, toleran, dan rahmatan lil alamin. Tugas ini semakin dipertegas dalam pertemuan kedua Ikatan Alumni Al- Azhar cabang Indonesia pada Sabtu pekan lalu.
Karena itulah, kalau kita ingin menjadikan Indonesia sebagai negara yang penuh toleransi, damai, dan harmonis, semestinya pihak-pihak yang berkepentingan, terutama negara/pemerintah, bisa memanfaatkan dan bekerja sama dengan Al-Azhar dan alumninya. Termasuk mendanai pembangunan gedung asrama mahasiswa di Kairo yang telah dirintis oleh mantan duta besar Indonesia untuk Mesir, Abdurrahman Fachir dan kini diteruskan oleh Dubes Komjen Pol Nurfaizi Suwandi.