Jumat 19 Oct 2012 07:00 WIB

Mencekik, Merampas

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nasihin Masha

Tayangan televisi dan situs Youtube serta penerbitan foto-foto di twitter, facebook, media online dan koran-koran begitu dramatis. Seorang perwira menengah TNI AU berpangkat letnan kolonel begitu penuh emosi menendang dan mencekik. Bahkan ada adegan kedua kakinya terangkat untuk menambah daya tekan dan daya cekik terhadap pria yang ditindihnya itu. Juga ada pria berseragam penerbang tempur, berbaju terusan warna kunyit, ikut membantu dengan merampas kamera yang dipegang pria tak berdaya itu. Ya, pria itu adalah wartawan foto. Namanya Didik Herwanto dari Riau Pos.

Didik tak sendiri. Ada lima wartawan lagi dan sejumlah mahasiswa yang menerima nasib sama: dipukul, ditendang, dan kameranya dirampas. Pelakunya pun bukan cuma satu. Mungkin lebih dari sepuluh, merujuk pada keterangan para korban. Aksi mereka, seperti terekam di gambar, bahkan disaksikan oleh anak-anak berseragam sekolah dasar. Aksi yang mungkin bagi para prajurit TNI pelaku itu sebagai heroik itu terjadi pada Selasa, 16 Oktober 2012, di Kampar, Riau. Para wartawan itu sedang meliput pesawat tempur Hawk-200 yang jatuh di sebuah perkampungan.

Ada banyak alasan mengapa TNI bertindak keras terhadap wartawan, seperti yang dikemukakan para pejabatnya. Di antaranya, ada hal yang dirahasiakan karena Hawk adalah pesawat tempur, berbahaya karena pesawat itu dilengkapi rudal, wartawan terlalu dekat dengan bangkai pesawat yang sedang berkobar api, wartawan berusaha menyibak terpal yang ditutupkan ke bangkai pesawat. Dua hal yang terakhir bersifat kontradiktif tentunya, kok pesawat sedang terbakar ditutup terpal? Terlepas dari adanya ucapan permohonan maaf dari para pejabat terkait tentang aksi kekerasan itu, kita justru hendak mengkhawatirkan tentang profesionalitas prajurit TNI dalam menghadapi masyarakat sipil.

Alasan tentang kerahasiaan dan adanya rudal juga masih patut kita pertanyakan. Hal itu bisa saja hanya menunjukkan sikap defensif. Inilah yang kita khawatirkan pada RUU Keamanan Nasional. Ada sejumlah pasal yang bisa ditafsirkan sesuai kehendak, istilah negatifnya adalah pasal karet. Bagaimana kita bisa mempertanggungjawabkan pernyataan rahasia dan adanya bahaya rudal tersebut. Bisa saja hal itu hanya menjadi pembenar untuk bertindak represif, antikemanusiaan, dan antidemokrasi. Walau reformasi sudah berlangsung 14 tahun, namun peristiwa di Kampar ini membersitkan kekhawatiran, bahwa perilaku prajurit TNI belum ada perubahan. Apalagi hal itu dilakukan perwira menengah, bukan oleh bintara atau tamtama.

Katakan bahwa benar ada rahasia dan ada rudal, tetap saja tak bisa dibenarkan untuk melakukan kekerasan dan perampasan kamera. Yang bisa dilakukan oleh TNI adalah menutup akses. Bukan memukul, mencekik, menendang, dan merampas barang milik orang. Dari peristiwa ini terlihat bahwa TNI belum cukup melakukan pendidikan tentang demokrasi, hak asasi manusia, dan protokol dalam menghadapi masyarakat sipil, termasuk wartawan. Penghormatan terhadap nilai-nilai universal dalam peradaban modern itu harus menjadi kesadaran bersama bangsa ini. Tanpa hal itu, apalagi jika bersemayam di karakter aparat negara, merupakan ancaman bagi kemajuan dan masa depan Indonesia.

Wartawan dan institusi pers bukanlah ancaman bagi sebuah bangsa dan negara. Mereka justru memperkuat kelembagaan, struktur, dan nilai-nilai masyarakat. Pers menjadi katalisator proses sosial, budaya, dan juga politik. Kita tak bisa membayangkan sebuah masyarakat tanpa kehadiran pers. Kita akan kembali ke zaman kuno ketika informasi dimonopoli oleh segelintir orang. Informasi di masa itu adalah barang istimewa. Melalui informasi maka seseorang bisa mengakselerasi dirinya. Tanpa kebebasan informasi dunia menjadi gelap. Kebenaran menjadi terkurung, masyarakat menjadi buta. Karena itu kebebasan merupakan prasyarat menuju masyarakat maju dan beradab.

Dan, salah satu ciri negeri represif adalah pembungkaman terhadap pers. Mari kita tunggu, apakah si letkol itu terkena hukuman atau tidak. Padahal dia jelas-jelas melanggar hukum pidana, menabrak UU Pers, dan menerjang UU Keterbukaan Informasi Publik. Jika tak ada proses hukum maka sebetulnya kita belum beranjak jauh.

sumber : resonansi
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement